Selasa, 30 Juni 2015


Apa malam ini kamu kembali terjaga?
Aku, malam ini kembali terjaga. Bukan karena aku tak kantuk. Tapi, mungkin karena dingin yang menusuk tulang.
Padahal hati sudah ku selimuti malam ini. Mungkin, bukan sebab dingin yang menusuk tulang. Tapi karena rindu yang membayang.
Hey, apa pesan-pesan rindu ku mencapai mu?
Mungkin lebih baik seperti ini. Aku nikmati malam-malam ku dengan menulis surat tak beralamat. Karena aku seorang penulis; karena, untuk saat ini hanya menulis yang bisa ku lakukan. Dan bait-bait doa yang tak lalai ku panjatkan ke langit.
Sudah lewat malam. Apa kamu masih terjaga?

Senin, 29 Juni 2015

Nasihat Sahabat

Allah memang yang paling mengetahui dan memahami, hamba mana yang pantas dihadapkan dengan ujian yang mahligainya lebih tinggi. Maka, apa-apa yang didapatkannya pun akan jauh lebih tinggi; kesabarannya, keteguhannya, ketaatannya, kekuatannya, kebijaksanaannya, ketegarannya..
Bersyukurlah menjadi apa yang kau pegang sekarang. Itu artinya, kau akan naik kelas. Tidak sepertiku, yang disentil sedikit saja sudah ingin roboh dan tumbang. Tidak sepertiku, yang seperti ini saja.
Barakallah wa innalillah. Semangat mendekap erat amanah, Brother. Kau pasti naik kelas! :)
*Seorang pemimpin, boleh saja memiliki langit mendung. Tapi, dia lebih punya keharusan untuk selalu menampakkan langit cerahnya. Juga, langit pelanginya. #D



Aamiin... terima kasih untuk doa, motivasi, dan kata-kata indahnya. Tentang aku, semoga Allah sesuai dengan prasangka hambaNya.
Tentang kamu, hati mu bukannya lemah dan begitu mudahnya roboh. Tapi seperti yang pernah kamu katakan. Allah memberikan hati (perasaan) yang sama, tapi tidak dalam waktu yang sama. Agar saat salah satu dari kita patah sebelah sayapnya, maka yang lainnya menguatkan kita. Atau membantu kita untuk segera bangkit. #R

Aku Tertawan Oleh Mu


Kamu tahu?
Malam ini aku tertawan oleh mu. Aku menyerah...

Entahlah, tiba-tiba saja aku berfikir begitu. Ada perasaan bahagia saat kita saling berbicara. Tapi di saat yang sama, aku benar-benar merasa bodoh. Aku mempertanyakan sikap ku yang seperti anak kecil ini. Menunggu mu untuk menghentikan pembicaraan kita malam ini. Padahal aku jelas lebih tua dari mu. Meski baru kemarin kamu sudah 21 kali mengelilingi matahari. Seharusnya aku yang menghentikan ini. Namun, aku telah tertawan oleh mu.
Ingin sekali menghentikan ini. Tapi saat aku pergi, justru aku merasa kehilangan kamu. Mungkin inilah alasan, mengapa luka tidak hilang saat coba melupakan. Karena melupakan sama dengan mengingatnya kembali.

Apa kamu juga tahu?
Aku masih mengingat kisah tentang senja kita di bulan Mei. Saat aku benar-benar menyerah dan tanpa sadar, aku telah tertawan oleh mu. Apakah kamu juga mengingatnya?

Jumat, 26 Juni 2015

Tentang Doa yang Kita Panjatkan Kepada Allah

Allah tidak pernah bilang Tidak sama doa-doa hambaNya. JawabNya cuma tiga.
1. Ya, akan Aku kabulkan doa mu
2. Ya, akan Aku kabulkan doa mu nanti, atau
3. Aku punya rencana yang lebih baik dari pada permintaanmu.
— ‪#‎dokterfina

Doa-doa yang belum terkabul maka:
1. akan diganti dengan yang lebih baik
2. akan diberikan pada waktu yang tepat
3. Allah tangguhkan untuk bekal di akhirat kelak
— #asep

Bukan sebuah rujukan hadis atau dalil Al-Qur'an. Ini hanya tentang sebuah iman yang tehujam dalam hati. Apakah kita masih sungkan hendak meminta kepada Allah?

Merindukan Kalian, Laskar 9


Ada sebuah ingatan fotografis. Terpotret dengan jelas setiap fragmen yang telah kita lalui. Tentang canda-canda kecil yang kita buat. Saling bertukar fikiran yang membuat suasana riuh berubah menjadi begitu serius. Tapi itu tidak akan bertahan lama. Selalu saja ada yang memecahkan gelas di tengah keheningan. Suara riuh kembali tercipta.


Ada kebahagiaan yang tak bisa kita katakan. Tapi sorot mata tak bisa berbohong. Ada kerinduan yang membuat pertemuan-pertemuan kita begitu dirindukan. Meski masing-masing kita telah begitu jauh. Tapi robitoh telah mengikat hati-hati kita. Ada pertemuan dalam doa-doa malam kita. Ada harapan yang terpanjatkan ke atas langit. Tentang sebuah pertemuan abadi yang amat kita nantikan. Allah, pertemukan kembali kami di surga.
#L9

Rabu, 24 Juni 2015

Jawaban Mu tidak dalam Mimpi

Akhirnya Engkau jawab pertanyaan ku malam itu. Pertanyaan yang aku sampaikan dengan berlumuran air mata. Sesak dada rasanya. Ada perasaan yang begitu menghimpit karena saat itu aku terlambat melibatkan Mu dalam perkara ini. Atau justru seharusnya aku libatkan Engkau dalam setiap urusan ku. Dan aku, aku sungguh lalai. Aku sunggh merasakan teguran Mu malam itu. Seperti Engkau sedang menampar ku, menarik ku ke dalam tempat sujud untuk membicarakan banyak hal. Mengevaluasi setiap keputusan yang aku lalai untuk melibatkan Mu.

Oh Allah, teguran Mu malam itu membuat hati berkecamuk dan dada begitu terasa sempit. Aku menangis sejadi-jadinya.

Padahal Engkau tak pernah lalai kepada ku. Benar saja, Engkau langsung jawab pertanyaan malam itu. Tak butuh waktu lama bagi Mu menjawab pertanyaan seorang hamba yang lalai seperti ku. Tidak dalam mimpi dan memang tidak harus di dalam mimpi. Engkau langsung hadirkan jawaban dari pertanyaan ku malam itu di hadapan mata ku. Seketika, Engkau timpakan sebuah "beban" di pundak yang lemah ini. Yang bahkan seorang Umar bin Khatab pun merasa berat memikulnya. Lalu bagaimana dengan hamba Mu yang satu ini, wahai Allah? Siapalah aku ini?

Tentu aku tetap meyakini bahwa ini adalah bagian dari rencana indah Mu. Aku juga meyakini bahwa tak ada beban tanpa pundak yang sanggup memikulnya. Engkau tentu tidak akan membiarkan pundak seorang hamba memikul beban yang tak sanggup ia pikul. Engkau lah Maha adil dan bijaksana. Engkau hanya ingin hamba Mu kembali kepada Mu dalam keadaan mulia. Dan ujian adalah salah satu cara untuk memuliakan hamba Mu. Allah, tentu Engkau tahu tentang hati yang bergetar takut kepada Mu ini. Kuatkanlah Allah, sehingga aku mampu untuk memantaskan diri.
....
Terima kasih telah menjaga diri
karena aku akan menjaga mu dari perasaan ku yang sedemikian rupa
entah bagaimana caranya
entah harus berdoa seperti apa, karena kita tidak tahu pasti
salah satu dari kita akan memulai, dan itu aku
— MASGUN

Terima Kasih telah Menjaga Diri

Terima kasih telah menjaga diri
Terima kasih telah menjaga diri
Terima kasih juga telah bersedia bersabar
bersabar terhadap perasaan yang sedang tumbuh
ingin sekali mekar, ingin sekali segera ranum
akan tetapi, kita masih percaya bahwa untuk menjadi mekar kita perlu waktu
terima kasih karena aku rasa Allah tetap menjadi yang pertama
bila kelalaian kita menjaga diri membuat orang lain berasumsi sedemikian rupa
semoga kita segera diselamatkan dan ku rasa dia pasti segera menyelamatkan
terima kasih telah bersedia bersabar
karena aku pun sedang bersabar menunggu waktu mu yang lebih luang
karena sekarang begitu banyak kesibukan bila kita tidak sabar dan gegabah, justru bisa jadi membuat kita salah mengambil keputusan
terima kasih telah menjaga diri
karena aku akan menjaga mu dari perasaan ku yang sedemikian rupa
entah bagaimana caranya
entah harus berdoa seperti apa, karena kita tidak tahu pasti
salah satu dari kita akan memulai, dan itu aku
di waktu yang nanti akan ku cari tahu entah bagaimana caranya
karena aku tidak akan membiarkan mu terlalu lama berasumsi
karena aku tahu kita benar-benar sedang diuji dengan kehadiran masing-masing
kita sama-sama menjadi ujian satu sama lain
mari menangkan?

— MASGUN Suara Cerita

Selasa, 23 Juni 2015


Telah ku ajukan sebuah “proposal hidup” ku kepada Allah. Aku tidak hendak memaksaNya untuk “menandatangani” proposal ku itu, sebagai tanda acc. Tapi itu adalah sebuah ikhtiar yang aku tuangkan dalam sebuah proposal hidup. Karena aku tetap meyakini bahwa rencanaNya jauh lebih indah.

Salah satu yang aku ajukan dalam proposal hidup itu adalah tentang sebuah nama yang menjadi perbincangan indah ku dengan Allah. Nama seseorang yang takut kepada Tuhannya. Nama seseorang yang akan aku ajak untuk menemani ku menuju kepadaNya. Nama seseorang yang semoga baik untuk dunia dan akhirat. Seseorang yang dengan ketulusan cintanya, akan melahirkan generasi baru yang cinta dengan agamanya.

Karena mendidik anak bukan hanya saat anak itu terlahir ke dunia, tapi saat kita memilih ibunya.

Minggu, 21 Juni 2015

Kisah Senja ini di Bulan Ramadhan


Hari ini, di senja pada bulan Ramadhan, tibalah sebuah kereta api di sebuah stasiun bernama Stasiun Pemberhentian. Seperti sudah sunatullah, saat itu ada penumpang yang turun, juga ada penumpang yang naik. Kereta api akan melanjutkan perjalanannya menuju ke stasiun pemberhentian selanjutnya. Melakukan perjalanan yang panjang dengan membawa perbekalan yang ada. Ada harapan kita akan menjumpai sebuah rel kereta yang melalui jalur-jalur perbukitan. Naik turun hingga saat kita sampai di sebuah tempat yang indah. Terlihat sebuah pemandangan sawah dan ladang. Petani sibuk menyiangi sawah dan ladang. Burung-burung bangau sedang mencari nafkah. Ada yang mendapatkan santapan lezat senja itu. Perjalanan saat itu membuat hati lebih sejuk, mulut memuji namaNya atas keindahan ciptaanNya.


Sayangnya tidak semua perjalanan akan terasa sedemikian indah. Kita meyakini ada kalanya kita akan menjumpai terowongan panjang nan gelap. Ada cahaya dan itu hanya ada di ujung terowongan. "Kita harus mencapainya," ucap ku. Lebih penting dari itu adalah sebuah pilihan sikap. Kita akan menjadi manusia yang bersyukur atau kufur. Menjadi manusia yang yakin atau ingkar. Hal ini juga sebuah sunatullah. Kita hanya dihadapkan pada sebuah pilihan sikap dan kita harus bertanggung jawab dengan pilihan sikap tersebut.

Kereta api ini tidak pernah menjanjikan sebuah perjalanan yang menyenangkan, kereta api ini hanya menjanjikan sebuah perjalanan, hanya itu. Sekali lagi, hanya menjanjikan sebuah perjalanan. Kita yang akan membuat perjalanan ini menjadi menyenangkan, biasa-biasa saja, atau perjalanan yang tidak hanya menyenangkan tapi juga kenangan. Perjalanan itu akan menjadi kenangan jika hanya ada hati yang hadir disana. Ada cinta yang menyertai perjalanan itu. Bukan hanya berbicara tentang sebuah beban, lelah, atau kewajiban. Sekali lagi tentang perjalanan cinta. Perjalanan yang menghadirkan cinta. Tentu cinta itu lahir dari buah ketulusan bukan keterpaksaan. Sehingga kita mampu menikmati buah dari ketaatan kita kepada Allah yang Maha mengetahui.

Aku amat yakin, rencanaNya jauh lebih indah daripada rencana dalam proposal hidup yang telah aku ajukan kepadaNya.

Benar perjalanan ini berat, benar perjalanan ini sakit, tapi ingat ada saat dimana kita jumpai perjalanan indah. Dan itu hanya akan dapat dirasakan jika hati ini memiliki cinta dan cinta itu sekali lagi adalah buah dari ketulusan. Mari kita melakukan perjalanan ini dengan hati riang?

Jumat, 19 Juni 2015

The Most Excellent



"...sesungguhnya Engkau Maha kuasa sedangkan aku tidak berkuasa, dan Engkau Maha tahu sedangkan aku tidak tahu, dan Engkau Maha mengetahui perkara yang gaib".

Kira-kira itulah cuplikan dialog ku malam ini dengan Allah. Ada pekara yang sangat emosional, mampir di pelataran. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, ini seperti aku ingin mengatakan tidak, tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulut ku. Dia kaku, beku.

"Siapa aku ini? Hingga lancang tidak melibatkan Allah dalam urusan yang sedang aku hadapi". Ada sebesit marah. Hati dan akal yang tadinya tenang, tiba-tiba badai menghempas. Bergoyanglah akal dan hati kesana kemari, gelisah. "Pantas saja — ku pikir". Aku tidak melibatkan Allah dalam urusan ini. "Siapa aku ini yang lancang tidak melibatkan Allah?" Langkah-langkah kecil akhirnya ku buat malam ini, untuk mendiskusikan beberapa hal denganNya.

Tibalah akhirnya aku duduk bersimpuh, membicarakan proposal yang telah aku adukan kepadaNya beberapa hari yang lalu. Aku sampaikan kepadaNya. "Wahai Allah, aku telah menyampaikan proposal hidup ku kepada Mu. Tentu tanpa itu pun — aku yakin — Engkau sudah merencanakan hal-hal indah untuk ku. Tapi ini adalah upaya ku untuk berdiskusi; berikhtiar; berdoa, seperti yang Engkau perintahkan kepada hamba Mu. Engkaulah yang berhak mengACC atau tidak proposal ku. Engkau Maha kuasa sedangkan aku tidak. Engkau Maha tahu sedangkan aku tidak, dan Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib. Aku? Engkau tahu jika urusan ini tidak sepintasan mimpipun singgah di malam-malam lelap ku. Tidak ada poin dalam proposal hidup ku tentang urusan ini. Tapi tiba-tiba dia hendak bertamu dalam teras hidup ku. Ada rasa keterpaksaan — saat ini — untuk melukisnya dalam kanfas hidup ku. Apakah ini adalah ujian keimanan dari Mu, Wahai Allah? Sekiranya Engkau tahu bahwa urusan ini lebih baik untuk ku, agama ku, dan kehidupan ku, serta (lebih baik pula) akibatnya (di dunia dan akhirat), maka takdirkanlah dan mudahkanlah urusan ini bagi ku, kemudian berkahilah aku dalam urusan ini. Namun, sekiranya Engkau tahu bahwa urusan ini lebih buruk untuk ku, agama ku, dan kehidupan ku, serta (lebih buruk pula) akibatnya (di dunia dan akhirat), maka jauhkanlah urusan ini dari ku, dan jauhkanlah aku dari urusan ini, dan takdirkanlah kebaikan untuk ku di mana pun, kemudian jadikanlah aku ridha menerimanya".

Kini tinggallah rasa ikhlas atas segala keputusan. Aku yakin, Allah punya rencana yang lebih indah untuk ku. Seindah apa pun aku merencanakan perjalanan hidup ku, rencana Allah tentu jauh lebih indah. Tidak ada tandingannya. God's plan is the most excellent (bahasa Inggrisnya bener gak yah? ^_^ ).

Minggu, 14 Juni 2015

Nutrisi untuk Hati

Foto by Kakak
dishare juga di akun Instagram dan Tumblr pribadi

Kalo ini namanya memperbaiki gizi. Perjalanan melelahkan harus dibarengi dengan asupan gizi yang seimbang. Gizi yang aku maksud bukan hanya tentang steak atau milk shake. Tapi gizi yang akan membuat hati akan senantiasa hidup.
Bahwa jasad ini hanya akan seperti mayat hidup jika hati yang ada dalam dada ini mati. Maka hati harus diberikan nutrisi yang pas. Agar dia senantiasa hidup.
Teringat sebuah hadis, istafti qalbak, mintalah fatwa pada hati mu. Maka agar hati ini mampu berfatwa dan menuntun manusia semakin dekat dengan Dzat yang menguasai hati, maka hidupkanlah hati. Berilah dia haknya. Tilawah Al-Qur'an dan dzikir. Bismillah.. Tentang #menghidupkan hati
#menguatkan hati

Sebuah #interpretasi
Sebuah #pesan

Perjalanan dan Pesan Rindu

Foto by adik
dishare juga di akun Instagram dan Tumblr pribadi

Perjalanan itu seperti kita sedang mengukir sebuah kenangan, *eh maksudnya sejarah. Sejarah yang akan dapat kita ceritakan dan menjadi sebuah pesan tak beralamat. Lebih tepatnya pesan khusus bagi mereka yang memahaminya. Tapi tak jarang, meski hanya berupa gambar bahkan siluet sekalipun, pesan itu sampai kepada hati yang dituju. Entah itu pesan cinta atau pesan rindu.

Sebuah #interpretasi
Sebuah #pesan

Jumat, 12 Juni 2015

Menghapus Jejak di Borobudur


Senja sore itu kembali memberikan hangatnya. Kehangatan warna jingga. Jingga yang mengingatkan aku tentang jejak. Jejak yang tersapu oleh hujan. Namun senja kemarin, memaksa jejak-jejak kenangan yang tersapu hujan, kembali hadir. Mengingatkan kembali kepada sebuah memori lama yang sudah lama ku buang jauh. Sebuah memori tentang pemberhentian yang seharusnya menjadi tempat pengaduan.

#Mengelilingi matahari | Menghapus jejak di Borobudur
Senja Borobudur, 10 Juni 2015

Selasa, 09 Juni 2015

Merahasiakan Rintik Hujan


Di penghujung Bulan Mei. Dan kamu, hey kamu, selamat datang Bulan Juni.
Ada hujan yang telah menghapus jejak-jejak rindu. Melarutkan sajak-sajak rindu dalam sebuah doa. Bukan kata tapi doa. Rindu yang merintik di atas dedaunan, meresap ke dalam akar-akar pohon. Merahasiakan rintik rindu yang menjadi hujan. Mungkin itulah sebab kita harus berterima kasih kepada hujan. Rintiknya tak hanya menghapus jejak-jejak rindu, tapi juga merahasiakannya dalam doa. Merubah cinta penuh nafsu menjadi cinta yang mulia.

Untuk saat ini, ada yang harus tetap menjadi rahasia ku denganNya. Tidak semua yang kita rasa harus diungkapkan, bukan? Biar saja untuk saat ini, ekspresi rindu itu adalah doa. Seperti Ali yang merahasiakan cintanya kepada Fatimah. Dan biar saja untuk saat ini, kita nikmati luka dan patah. Saat seolah tak peduli dan acuh melihat mu jatuh. Meski hati merasakan perih melihat ranting yang patah. Sakit memang, tapi bukankah rasa sakit ini sebanding dengan cinta yang mulia? Cinta yang berbuah surga.

Kamis, 04 Juni 2015

Tentang Senja dan Surat yang tak Beralamat


Seperti senja-senja sebelumnya. Hadirnya membawa jingga di hamparan langit, juga di dinding-dinding hati. Ada perasaan yang terwakili olehnya. Ingatan-ingatan lama yang dipaksa untuk kembali hadir. Yang kemarin saat hujan tersapu bersih, larut begitu saja. Sebuah kenangan. Kita yang sempat mengabadikannya dalam sebuah gambar, yang senja ini ku pasang di beranda hati ku.

Tiba-tiba rindu hadir dan senja, dia seperti memahami untuk siapa rindu ini.

Seperti senja-senja yang belum lama ini ku lalui. Detik-detik itu aku lalui sendiri, seperti biasanya. Ku buat sepucuk surat tak beralamat, yang jelas-jelas itu untuk mu. Entah kamu tahu atau tidak. Surat yang dibuat saat hati seperti senja hari ini. Saat jingga perlahan menghitam. Kamu bertanya tentang warna merah yang tengah membara di hati mu. Konon ada energi yang membuncah. Seperti air mendidih, geram dengan situasi yang tak menentu. Aku? Seperti sebelum-sebelumnya. Menyerah dan kalah dengan argumen mu.

Dan seperti sebelum-sebelumnya. Aku pasrahkan semuanya kepada Tuhan yang menciptakan senja. Kepada yang menciptakan rindu ini.

Selasa, 02 Juni 2015

Sama-sama Diam


Kini hari-hari seperti aku tak pernah mengenal mu. Tak ada sapa atau tanya. Perjumpaan kita diisi dengan senyum malu-malu. Bahkan kadang lebih tragis. Kita sama-sama diam tak berkutik. Asik menikmati waktu-waktu sendiri. Tapi aku, diam ku penuh kepura-puraan. Entah, kamu melakukan hal yang sama dengan ku atau tidak. Yang aku rasakan saat tak sengaja  atau lebih tepatnya itu adalah kesengajaan yang ku buat – menyapa mu, kamu tampak antusias. Seperti merindukan percakapan kita. Sekali lagi, itulah yang aku rasakan.

Seperti nampak mudah untuk membuat sebuah keputusan. Mengambil pilihan sikap yang akan merubah hidup ku dan hidup mu, hidup kita. Pilihan untuk menghilangkan keraguan yang membutuhkan dengan segera sebuah kepastian. Waktu itu semua nampak indah. Ada banyak perasaan yang ingin aku sampaikan. Kita pernah berjalan bersama dan berhenti bersama dengan irama yang sama. Kita juga pernah menikmati hujan bersama. Dan hujan itu jua yang akan meluruhkan setiap jarak di antara kita. Menghanyutkannya hingga ke samudera, tapi aku tak bisa. Maka pilihannya untuk saat ini adalah kita sama-sama diam.

Biarkan untuk saat ini aku simpan kenangan-kenangan itu di sebuah tempat yang jauh. Aku juga tidak akan membuatkan peta jalannya, agar kenangan-kenangan itu tak mudah ditemukan. Atau aku akan bersembunyi di balik wajah kaku ku yang dulu. Wajah yang selama ini entah bagaimana caranya, saat aku mengenalmu, aku seperti lupa bagaimana cara menampilkannya. Aku menyerah kepada mu, setiap kali aku tak tega melihat mu terjatuh. Saat itu juga wajah kaku dan seram hilang seketika. Aku menyerah, aku kalah. Tapi kali ini, agar yang tak terungkap tetap menjadi rahasia, akan aku lakukan. Meski mungkin seperti yang sudah-sudah, sekali lagi, untuk kesekian kalianya aku menyerah.