Senin, 27 Oktober 2014

Manusia dan Beban di Pundaknya #2

Manusia dan beban di pundaknya. Menggambarkan bahwa setiap manusia pasti memiliki beban hidup. Manusia tidak akan lepas begitu saja dari ujian, sebagaimana Allah wahyukan dalam banyak ayat di dalam Al-Qur'an. "Yang menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS Al-Mulk: 2). Atau dalam Al-Qur'an surat Al-Anbiya ayat 35 Allah berfirman, "Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan" (QS Al-Anbiya': 35).
Ujian yang Allah berikan kepada manusia pada hakikatnya telah tertulis di dalam Lauh Mahfuz bahkan sebelum dia terlahir di dunia ini. Keberadaan ujian ini semata-mata agar jelas siapa hamba-hamba Allah yang munafik dan siapa hamba-hamba Allah yang benar-benar beriman. Pemahaman seperti ini tentu didapat saat manusia menggunakan akalnya untuk berfikir. Tidak hanya mengeluh bahkan menyalahkan Allah atas ujian yang didapatnya. Sehingga ujian yang akan dipikul oleh pundak tak jadi persoalan karena dia mampu berfikir dengan baik. Akalnya membimbingnya dengan cahaya, sehingga dia mampu menemukan cahaya dari jalan gelap yang dia lalui di sepanjang perjalanan.
Ruh atau jiwa. Mengutip yang disampaikan oleh Ibn Sina, "Nafs (jiwa) dalam jasad itu bagaikan burung yang terkurung dalam sangkar, merindukan kebebasannya di alam lepas, menyatu kembali dengan alam ruhani, yaitu alam asalnya. Setiap kali ia mengingat alam asalnya, ia pun menangis karena rindu ingin kembali."
Ibn Sina memberikan gambaran yang sangat terang tentang jiwa manusia. Hakikatnya ruh yang ada dalam jasad manusia ini sedang tak berada di alamnya yaitu alam ruh. Jiwa akan menangis manakala dia merasa ridu dengan alamnya. Seperti halnya Rasulullah dan para sahabat yang merasa rindu dengan kota kelahirannya Mekah saat hijrah ke Madinah. Itulah ruh atau jiwa. Dia membutuhkan satu obat yang akan memberikannya hidup dan tidak merasa asing saat berada dalam jasad manusia. Dia adalah Al-Qur'an. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur'an, "Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian." (QS Al-Isra': 82).
Al-Qur'an adalah obat bagi jiwa-jiwa yang beriman. Saat ruh merasakan kerinduan kepada kampung akhirat maka Al-Qur'an akan dapat memberinya ketenangan, sebagaimana Allah telah memberikan keterangan dalam ayat Al-Qur'an di atas.
Beban atau ujian yang diemban oleh manusia pada dasarnya tidak hanya dipikul secara fisik oleh jasad ini. Seperti halnya akal yang telah terang oleh cahaya ilmu, maka ruh yang telah diterangi oleh cahaya Al-Qur'an akan mampu memberikan kekuatan kepada ruh. "Orang-orang yang beriman dan hati mereka bisa merasa tentram dengan mengingat Allah, ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah maka hati akan merasa tentram." (QS Ar-Ra'd: 28). Ibnul Qayyim dalam Tafsir Al-Qayyim menyebutkan bahwa "Pendapat terpilih mengenai makna ‘mengingat Allah’ di sini adalah mengingat Al-Qur’an. Hal itu disebabkan hati manusia tidak akan bisa merasakan ketentraman kecuali dengan iman dan keyakinan yang tertanam di dalam hatinya. Sementara iman dan keyakinan tidak bisa diperoleh kecuali dengan menyerap bimbingan Al-Qur'an." Ketentraman atas mengingat Allah inilah yang akan memberikan energi kepada manusia. Sehingga dia tidak menjadi manusia yang mudah mengeluh atas beban yang dia dapatkan dalam perjalanan hidupnya. Jauh dari Al-Qur'an hanya akan membuat manusia seperti mayat hidup. Jasadnya hidup tapi ruhnya mati karena hati yang jauh dari Al-Qur'an, yang seharusnya menjadi obat penawar bagi ruh yang rindu dengan kampung akhirat.
Jiwa-jiwa yang senantiasa berdzikir, mengingat Allah, niscahya hatinya akan terang-benderang. Hatinya akan dipenuhi energi ruhani yang semakin menguatkan keimanannya. Allah akan merengkuh hati-hati yang senantiasa mengingat Allah. Pada akhirnya pundak akan kokoh, kaki akan tegak, dan hati akan penuh dengan rahmat. Dzikir Al-Qur'an ini adalah suplemen pokok dari ruh. Tak hanya itu, tapi aktivitas mengingat Allah yang lain juga akan memberikan energi kepadanya. Manusia akan senantiasa tenang tidak mengalami kerancuan dalam aktivitasnya, karena hatinya mendapatkan bimbingan dari Allah.
Kembali kepada pembahasan di awal, bahwa manusia adalah manusia. Dia terdiri dari tiga pilar penopang yang menjadikannya manusia, yaitu akal, ruh atau jiwa, dan jasad. Maka dua pembahasan mengenai akal dan ruh telah diuraikan. Semoga mampu memberikan cahaya ilmu bagi para manusia yang bertebaran di bumi Allah ini dan hendak kembali keharibaan Allah. Pada catatan ini, tak banyak yang aku sampaikan karena atas keterbatasan ilmu. Aku mohon ampun kepada Allah jika banyak kekurangan dalam penulisannya dan semoga Allah mengampuniku. Tak lupa juga aku memohon maaf kepada para pembaca atas kekurangan ini.
Mengenai jasad, sebenarnya aku meyakini bahwa telah banyak kita memahami betapa kesehatan jasad akan sangat penting dalam menjalankan aktivitas di bumi ini. Dalam kesempatan tulisan "Manusia dan Beban di Pundaknya" akan aku tulis dalam part 3. Semoga Allah memberikan kekuatan agar mampu melanjutkannya di tulisan selanjutnya.

Minggu, 26 Oktober 2014

Manusia dan Beban di Pundaknya #1

Manusia adalah makhluk yang tumbuh. Manusia memiliki tiga pilar yang menopang dan menjadikannya sebagai manusia yang hidup. Ketika manusia tumbuh, ketiganya juga mengalami proses tumbuh itu. Ketiganyalah yang kemudian menjadikan manusia memiliki kapasitas yang kemudian keberadaannya akan sangat diperhitungkan. Kapastias inilah yang akan menjaga eksistensinya sebagai manusia dalam menjalankan aktivitasnya sebagai manusia di bumi. Menjadi hamba Allah dan melaksanakan tatanan kehidupan sesuai dengan petunjuk yang ada dalam aturan yang Allah wahyukan kepada hambaNya yang mulia, Nabi Muhammad Saw.
Manusia adalah manusia dengan segala macam potensi dan kekurangannya. Tiga pilar pembentuknya itulah yang kemudian akan membantunya menjalani aktivitasnya sebagai manusia. Memikul beban dengan pundaknya tapi karena dia adalah manusia yang memiliki tiga pilar pembentuknya, maka dia akan bertindak layaknya manusia; bekerja dengan cara-cara manusia. Tidak seperti superman yang memikul bebannya sendiri. Karena kita bukanlah superman dan kita hanyalah seorang manusia biasa, maka kita akan memikul beban itu layaknya manusia. Tiga pilar penopang manusia itu adalah akal, ruh, dan jasad yang semoga dengan rahmat Allah, aku dapat memberikan gambaran ketiganya dalam menopang manusia.
Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan kepada manusia. Nikmat yang disebut hadiah ini menunjukkan kekuasaan Allah yang sangat menakjubkan. Oleh karenanya dalam banyak ayat Allah memberikan spirit kepada manusia untuk menggunakan akalnya. Misalnya dalam Al-Qur'an surat Ar-Ra'ad ayat 4 ini, "Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir." (QS Ar-Ra'd: 4). Manusia yang berfikir dia mengetahui potensi dan kelemahannya sekaligus. Keberadaan akal akan membantu manusia berfikir. Sehingga dia mampu bertindak dengan nalar-nalar kemanusiaannya dan tidak menjadikannya bersikap berlebih-lebihan, yang pada akhirnya justru membuatnya kepayahan.
Manusia yang cendrung mengabaikan akal pada akhirnya dia akan menjadi jumud. Akalnya bebal dan hal ini adalah sesuatu yang tidak Allah sukai. "Dan mereka berkata: 'Kalaulah kami dahulu mendengar dan memahami (sebagai orang yang mencari kebenaran), tentulah kami tidak termasuk dalam kalangan ahli neraka'." (QS Al-Mulk: 10). Sangat keras peringatan Allah ini dalam Al-Qur'an. Akal manusia inilah yang kemudian menjadikannya bertumbuh. Manusia akan berfikir bagaimana dia bertahan dari berbagai ujian yang Allah berikan kepadanya. Tak menganggap ujian ini remeh tapi juga tak menjadikannya terlampau berat. Karena dia dapat berfikir untuk mengenali dan peka bahwa ujian ini hakikatnya adalah hal lumrah yang akan dia temui. Dia juga akan dapat berfikir jernih tentang keberadaan Allah yang memberinya ujian agar dia menjadi seutuhnya manusia. Dan beban itu pasti akan selalu mampu dipikul oleh pundak, karena ujian itu adalah pemberian dari Allah. Kejernihan berfikir ini tentunya karena dia menggunakan akalnya. Membekalinya dengan ilmu yang akan membimbingnya dalam memikul beban di atas pundaknya.

Sabtu, 25 Oktober 2014

Memberi Cinta

Memberikan cinta adalah hal sederhana yang kadang tak semua orang bisa melakukannya. Memberikan cinta bukan perkara rumit yang harus disyurakan panjang lebar, seperti saat akan menentukan sebuah kebijakan. Cinta, kata sederhana yang semua orang memilikinya di hati. Cinta adalah kata kerja, kata Anis Matta. Cinta berbicara tentang memberi, bukan meminta. Para pencinta sejati selamanya hanya bertanya: "Apakah yang akan kuberikan?" Tentang kepada "siapa" sesuatu itu diberikan, itu menjadi sekunder, sekali lagi kata Anis Matta. Artinya, kepada siapa cinta itu akan diberikan tidak menjadi persoalan.
Cinta itu memberikan bukan menuntut atau meminta. Kalo meminta, nanti malah bisa punya gelar "Pengemis Cinta". Padahal setiap orang punya cinta, meski dengan kadarnya masing-masing. Ada yang hanya mampu mengatakannya saja. Cintanya terdefinisikan dalam kata-kata. Ada pula yang mampu memberikan sesuatu atau dalam bahasa lainnya berkorban. Waahhhh... Mantap nih jika sudah sampai mampu berkorban. Tapi tetap ada batas-batasnya yah, tidak berlebihan. Karena sesuatu yang berlebihan juga tidak baik. Sama seperti saat seseorang mencintai Rasulullah. Mencintai Rasulllah itu boleh tapi jika berlebihan akan jadi syirik.
Tentang memberikan cinta, meski kepada siapa cinta akan diberikan tidak jadi soal, tentunya ada kondisi hati yang kadang cendrung condong pada satu diantara banyak objek cinta. Dalam urusan cinta, Aisyah adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah diantara istri-istrinya yang lain. Maka inilah fitrahnya cinta. Cinta tetap memilih.
Allah anugerahkan cinta untuk menjadikan manusia menjadi benar-benar manusia. Dengan cinta itu manusia akan bertumbuh. Karena cinta itu memiliki energi untuk menumbuhkan. Jika cinta itu justru menghancurkan, maka itu bukanlah cinta. Melainkan sebuah nafsu yang salah teridentifikasi menjadi cinta. Bisa kita lihat bagaimana cinta itu kemudian saling menumbuhkan di antara Rasulullah dengan istri-istrinya. Dalam urusan dakwah, para istri justru tak menghambat dakwahnya Rasulullah. Para istri justru membantu dalam perjalanan dakwahnya beliau. Lihatlah Aisyah, adalah wanita yang paling banyak meriwayatkan hadis. Artinya wanita cerdas yang menikah dengan Rasulullah itu justru tumbuh semakin cerdas.
Maka sebagai manusia kita memiliki sebuah tanggung jawab besar untuk menjaga kefitrahan dari cinta. Tak begitu gampangnya memberikan cinta pada semua orang tanpa batas, sehingga dalam perjalannya justru cinta itu menghancurkannya. Maka pandai-pandailah dalam merawat cinta. Sehingga saat waktunya tiba cinta itu diberikan kepada orang lain dan kita menerima cinta yang sama dari orang lain. Cinta itu akan saling menumbuhkan dua insan yang tersatukan oleh beberapa ikrar kata.

Rabu, 15 Oktober 2014

Tentang Cinta; Hanya Kata-kata

Cinta itu bunga, bunga yang tumbuh mekar dalam taman hati kita. Taman itu adalah kebenaran. Apa yang dengan kuat menumbuhkan, mengembangkan, dan memekarkan bunga-bunga adalah air dan matahari. Air dan matahari adalah kebaikan. Air memberinya kesejukan dan ketenangan, tapi matahari memberinya gelora kehidupan. Cinta, dengan begitu, merupakan dinamika yang bergulir secara sadar di atas latar wadah perasaan kita. Maka begitulah seharusnya anda mencintai, menyejukkan, menenangkan, namun juga menggelorakan. -Anis Matta-
Cinta adalah energi, bukan wujud dari kegalauan. Bukankah harusnya demikian?
Jika ada cinta yang mewujud dalam kegalauan, itu bukanlah cinta. Bisa jadi kita sedang salah menafsirkan nafsu menjadi cinta. Cinta tidak hanya memberikan kesejukan dan ketenangan, tetapi juga gelora, sebuah energi jiwa.
Persahabatan membutuhkan cinta, pernikahan juga membutuhkan cinta, berdakwah juga membutuhkan cinta, dan semua aktifitas kita membutuhkan cinta. Cinta yang menumbuhkan dan membesarkan. -Yayan Al-Ikhwan-
Selalu begitu. Cinta selalu membutuhkan kata. Tidak seperti perasaan-perasaan lain, cinta lebih membutuhkan kata lebih dari apapun. Maka ketika cinta terkembang dalam jiwa, tiba-tiba kita merasakan sebuah dorongan yang tak terbendung untuk menyatakannya. Sorot mata takkan sanggup menyatakan semuanya.
Tidak mungkin memang. Dua bola mata kita terlalu kecil untuk mewakili semua makna yang membuncah di laut jiwa saat badai cinta datang. Mata hanya sanggup menyampaikan sinyal pesan bahwa ada badai di laut jiwa. Hanya itu. Sebab cinta adalah gelombang makna-makna yang menggores langit hati, maka jadilah pelangi; goresannya kuat, warnanya terang, paduannya rumit, tapi semuanya nyata. Indah.  -Anis Matta-
Layak dicintai adalah lambang keberartian. Sebab cinta tidak dipersembahkan untuk padang jiwa yang hampa. Tidak juga untuk karya-karya tidak bermakna. Hanya bila kita berguna, maka kita layak dicintai.
Kelayakan dicintai adalah definisi sebuah kapasitas diri. Kapasitas yang diukur sejauh mana kita memiliki harga. Dalam wujud amal nyata dan peran-peran yang berbukti. Bukan status, apalagi sekedar hiasan performa dan gincu-gincu kepalsuan.
Kelayakan dicintai, berpulang pada banyak sebab. Ada dedikasi disana. Sebab kelayakan itu tak datang percuma. Tanpa harga dan tanpa biaya. Tidak. Kelayakan itu adalah buah persembahan yang berpeluh dan berjibaku.
Kita memang harus selalu bertanya tentang kelayakan untuk dicintai. Sebab cinta bukan menuntut tapi mematut diri. Jika kita patut, maka orang-orang dengan sendirinya akan mencintai kita dengan tulus. Tapi jika kita sudah mematut tidak jua orang datang. Kita tak perlu gusar! Yang penting adalah terus mencintai. Karena cinta, sejujurnya adalah ketulusan untuk selalu memberi!
Seperti sunnatullah pada segala hal, cinta punya tabiat keseimbangannya. Antara mencintai dan kelayakan dicintai. Keduanya adalah capaian dan derajat hidup yang tak datang dengan cuma-cuma. Ada kerja dan persembahan besar dibaliknya. Orang-orang besar mengerti benar, betapa mencintai dan dicintai adalah karya-karya jiwa yang melelahkan!