Kamis, 28 Oktober 2021

SEBUAH REFLEKSI, PERTENTANGAN PARA FILSUF YANG MELAHIRKAN SUATU KEMUNAFIKAN

Pengetahuan kita didasarkan pengalaman, dari satu fenomena ke fenomena berikutnya. Sehingga karena pengalaman inilah muncul empirisme. Omong kosong, nonsense, seseorang yang belajar filsafat tanpa belajar tokohnya.

Herakleitos adalah filsuf Yunani berpendapat bahwa segala sesuatu itu berubah. Berbeda dengan Herakleitos, Parmenides yang juga filsuf Yunani yang lebih muda dan banyak menentang karya-karya dari Herakleitos, Parmenides adalah seorang filsuf yang berpendapat bahwa segala sesuatu bersifat tetap. Jika kita melihat diri seseorang, kita akan melihat apa yang tetap dan apa yang berubah pada dirinya.

Misalnya adalah latar belakang seseorang, itu bersifat tetap atau bagi say aini juga disebut takdir. Sebab latar belakang adalah hal yang tetap. Namun seseorang juga akan mengalami perubahan, bertumbuh, sebab seseorang berjalan dari satu fenomena ke fenomena lainnya, bertambahlah pengetahuannya. Tidak ada sesuatu yang tidak mengalami perubahan di dunia ini.

Hidup di dunia itu kontradiksi, sedangkan pikiran bersifat identitas. Karena terikat ruang dan waktu, maka muncul persamaan A ≠ A. Yang artinya tidak ada satupun di dunia ini yang benar-benar sama, meski itu adalah dua orang bayi yang lahir dari rahim ibu yang sama. Dua bayi yang dikatakan kembar itu, secara kontradiksi mereka sesungguhnya berbeda. Persamaan mereka hanya ada dalam pikiran kita, yang mengatakan bahwa dua bayi itu kembar atau sama. Meski sesunggunya mereka adalah dua insan yang berbeda. Ketidak mampuan pikiran kita dalam membedakan dua bayi yang sesungguhnya berbeda inilah yang menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia tidaklah sempurna. Dan ketidak sempurnaan inilah yang menyebabkan manusia bisa hidup.

Seseorang yang mempercai Tuhan itu esa, ia berarti menganut filsafat monotisme. Sedangkan yang berpendapat Tuhan itu jamak, makai a menganut filsafat pluralism. Dan yang mempercayai dia menganut dualism. Nah, Pancasila adalah monodualisme. Mono, percaya kepada yang Esa, dualism, antara Tuhan dan manusia, yaitu habluminallah dan habluminannas.

Kemudian muncul persoalan isme-isme lainnya, dan muncul seorang tokoh Bernama Immanuel kant. Namun sebelumnya juga muncul filsafat rasionalisme dengan tokoh Rene Descartes, dan skeptisisme, yang juga sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Kemudian mendapatkan pertentangan dari empirisesme, David Hume. R. Descartes menjadi seorang skeptisisme sebab ia seorang pemikir yang menjumpai sesuai yang fenomenologis. Sampai-sampai R. Descartes tidak bisa membedakan, bahkan sampai ingin memastikan keberadaan Tuhan sehingga ia meragukan keberadaan Tuhan. Keraguan itu muncul sebab Ia menemukan keberadaan Tuhan dalam kenyataan maupun di dalam alam mimpinya. Ia tidak mampu dimana yang kenyataan dan alam mimpi. Sampai ia dapat menemukan satu kunci, yaitu “aku bertanya”. “Aku tidak sedang bermimpi, karena aku sedang berfikir.” Cogitu Ergo Sum.

Aku ada karena aku berfikir. Jadi sebenar-benarnya ilmu, haruslah berdasarkan pada rasio, pada pikiran. Maka jika sesuatu yang tidaik berdasarkan pikiran, maka sesuatu itu bukan ilmu. Hal ini tentu bertentangan dengan David Hume. Seseorang yang berfikir sekeras apapun, jika tidak memiliki pengalaman, makai a belum dikatakan berilmu. Maka ilmu itu harus didasarkan pada pengalaman.

Maka muncullah Immanuel kant yang menengahi dua pertentangan tersebut. Menurut Immanuel kant ilmu itu adalah perkawinan antara sintetik dan apriori. Disinilah muncul zaman modern yang muncul sebab adanya pertentangan Rene Descartes dan David Hume.

Seirinag berjalannya waktu, maka muncullah tokoh bernama Auguste Comte. Dimana ia menurutnya, agama tidak bisa digunakan untuk membabngun dunia, sebab itu semua tidak logis. Agama atau spiritualitas berada pada posisi paling bawah dalam proses pembangunan sebuah negara. Sehingga jika dirunutkan berdasarkan prioritas dalam pembangunan agama secara berturut-turut, agama berada pada paling bawah, di atasnya metafisik, dan barulah metode positif. Posisi agama berada pada paling bawah sebab agama dianggap tidak logis.

Bagaimana dengan kita sebagai seorang umat beragama?

Mungkin kita jauh lebih dari Auguste Comte dalam hal memposisikan agama. Comte, hanya pada tataran teori. Sedangkan kita sebagai umat yang beragama, tak jarang meletakkan posisi agama pada sisi yang tidak prioritas. Telat sholat, bermalas-malasan datang beribadah, sibuk main game, sehingga lalai pada agamanya. Kemajuan teknologi ternyata secara negative justru melahirkan kemunafikan. Juga kadang kita sibuk bekerja hingga lalai dalam beribadah. Menomor duakan urusan ibadah, padahal kita mengharap pertolongan Allah. Suatu kemunafikan, hipokrit.

Terima kasih prof atas ilmunya. Mendapatkan tambahan informasi tentang rentetan pertentangan para filsuf yang ternyata melahirkan zaman yang dikatakan modern ini. Menarik tentang sebenarnya pertentangan antara Rene Descartes dengan David Hume. Meski keduanya dalam posisi yang kurang tepat jika melihat dari sudut pandang Immanuel kant. Nyatanya, dalam kondisi empiris, dua pertentangan tentang antara sintetik dengan apriori, sering terjadi. Yang merasa berpengalaman, merasa sudah unggul dengan ilmu yang mereka miliki, begitu juga sebaliknya, mereka yang memperoleh pengetahuan dari proses berfikir, merasa lebih unggul.

REFLEKSI, “Filsafat Bagian 1, by Marsigit, Thuersday 17 Okt 2019”