Rabu, 17 September 2014

Becik Ketitik Olo Ketoro

Becik ketitik olo ketoro
Menata hati itu penting ternyata. Banyak yang di pandang mata, terdengar oleh telinga, dan terbaca oleh bibir ini, membuat hati mengeras. Ketidaksepakatan pada satu hal, membuncahkan hati, memunculkan banyak amarah pada kata yang terucap dan kata yang tertulis, menjadi suara minor yang tidak elitis. Sesekali bahkan terlihat menjijikan dan memuakan. Bisa dibaca juga kata-kata yang tertulis pada tulisan ini. Mungkin ada kata-kata yang tak elitis itu. Aku meminta maaf atas hal itu.
Elitis, hanya sebuah istilah yang aku gunakan pada opiniku ini. Menterjemahkan ide dalam sebuah kalimat yang mendidik dan menunjukkan sisi hormat kedapa siapapun pembaca atau yang mendengarkannya. Elitis ini yang aku maksud, terlepas makna sebenarnya dalam KBBI atau kamus semacamnya. Hanya saja aku sedang sedikit mengoreksi diriku pribadi.
Becik ketitik olo ketoro. Adalah kata elegan yang bagiku cukup untuk melunakkan hati yang mengeras atas pembelaan dan cacian membabibuta yang bisa kita simak di banyak medsos. Baik yang pada dasarnya menggunakan kata-kata yang elitis sampai yang menggunakan kata sindiran menyakitkan dan hinaan tanpa pandang bulu. Tanpa kita hina pun, sesungguhnya keburukan itu akan muncul dengan sendirinya, bahkan sampai diumbar begitu saja. Tapi lihatlah, banyak yang tak menyadari, bahkan dianataranya menutup mata. Pun tanpa kita bela habis-habisan, sebenarnya yang baik pasti akan nampak. Meski jika kata beberapa orang yang bertukar pendapat denganku mengatakan, ini adalah zaman dimana citra bisa naik dan turun karena uang. Bisa jadi.
Hati. Dia tidak akan pernah menipu. Dia selalu berkata jujur pada diri ini. Hanya, mungkin mata hati telah tertutup karena bebal yang diakibatkan oleh ujubnya hati. Tak berkahnya ikhtiar manusiawi yang dilakukan. Sehingga Allah membiarkannya dalam ketersesatannya di dunia. Memberikan banyak waktu, bukan untuk menjadikan manusia itu menyadari ketersesatannya, justru waktu itu adalah untuk semakin menenggelamkannya dalam hutan belantara yang gelap dan buas. Seperti yang baru saja aku renungi dari QS Ali Imran: 178 "...Sesungguhnya tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan."
Bencilah sekedarnya saja, barangkali suatu saat dia menjadi sahabatmu. Dan Cintalah sekedarnya saja, barangkali suatu saat dia menjadi musuhmu. Sangat bijak dan arif aku rasa kata-kata mutiara engkau Sahabat Ali bin Abi Thalib. Tapi satu hal penting bahwa seorang pemimpin adalah pelayan umat. Dia tidak sekedar bercibara untung rugi soal materi. Tapi keadilan, kesejahteraan, kehidupan, dan yang paling utama adalah urusan akhirat. Semoga para arif mampu menerka pesan dari banyak pesan yang tersirat dalam pementasan yang terjadi beberapa waktu terakhir ini. Tentu hanya hati yang penuh cinta, rahmat, dan rahim yang mampu menterjemahkannya dan mengintalnya dalam aktivitas hidupnya. Dialah hatinya para ahli ilmu, yang senantiasa menjaga adab terhadap Tuhannya ilmu. Dialah para murabitu, yang hatinya senantiasa terjaga untuk menjaga kehormatan jalan hidup ini.

Selasa, 16 September 2014

Sahabat; Inilah Cinta

aku tak pernah menemukanmu lesu karena lelah dari aktivitasmu
bahkan aku tak pernah menemukanmu berucap kata lesu
saat-saat tertentu kata-katamu menjadi nasihat untukku
terima kasih
meski kadang kamu sedikit menyebalkan
karena kamu sangatlah pelan
kamu tahukan aku orangnya tidak sabaran?
tapi kamu tahu?
cintaku padamu lebih besar
aku juga mungkin sering membuatmu kesal
pastinya...
ya... candaku padamu tentunya
maafin aku yah?
aku nakal sama kamu
aku tak pernah sampaikan kata cinta padamu
tapi itulah candaku
itu cinta
sahabatku, kita punya janji
masih ingatkan?
kadang aku tertawa saat mengingatnya
aku akan berusaha menepatinya
semoga begitu juga denganmu
itu akan menjadi do'a
dan ini juga cinta
semoga Allah mengumpulkan kita di surgaNya
namun jika kamu tak menemukan aku di surgaNya
tolong, panggillah aku
mintakanlah kepada Allah untuk mengangkatku dari nerakaNya
sahabat, dua setengah tahun ini aku berfikir
ternyata, sepertinya baru kali ini aku benar-benar menemukan engkau
seseorang yang telah menutup lubang di hati
dan ini adalah cinta

#Ra

Sahabat

cintanya bukan ego
nasihatnya bukan benci
dia tak selalu jalan di depan
kadang di samping, menuntun
bahkan kadang di belakang, mendorong penuh dukungan
dalam do'a terselip namamu, tersembunyi


senja yang indah

Sabtu, 13 September 2014

Hanya Permukaan

Ada banyak hal tersembunyi di luar sana. belum dapat aku mengupasnya karena terbatasnya ilmu yang aku miliki. Nampaknya ini karena ilmu belum menjadi barang yang berharga bagiku, mungkin juga bagimu. Hanya kata-kata manis tanpa ada tradisi yang membangun. Aku hanya bisa menangkap objek yang tersurat saja. Terbatas..!!
Banyak hal menarik dan aneh di luar sana yang tak dapat aku mengerti. Mata hanya akan melihat permukaan air yang tenang tapi takkan pernah mengerti apa yang terjadi di kedalaman. Begitu banyak tekanan dan gelombang yang tak bisa dilihat di permukaan. Juga batu dan ikan yang saling berpadu. Tersembunyi..!!
Ada banyak tabir yang Allah selimutkan pada mata ini atas keompongan hati dan akal ini. Hanya mengerti sebuah botol air mineral hanya digunakan untuk air minum, tak mengerti, dia bisa kita manfaatkan untuk menjadi pot. Berkebun di sekitar rumah. Bisa juga aku menanaminya bunga cantik yang menyejukkan. Pandang mata memang selalu terbatas. Hanya melihat permukaan air bukan isi yang ada di kedalaman. Tak mengerti..!!?

Hanya sebuah coretan sederhana...

Kamis, 11 September 2014

Menjadi detektif

Sudah hampir dua tahun ini aku menjadi detektif. Menggunakan topi sederhana dengan jaket hitam yang kadang-kadang aku ganti ketika sudah sedikit kucel. Hampir dua tahun ini aku mengumpulkan berbagai informasi tentang dirimu dari banyak sumber. Sebenarnya aku sudah menyusunnya dalam bentuk file draf yang cukup tebal. Meski aku akui itu belum selesai. Tapi aku yakin, tiga sampai empat bulan kedepan aku sudah mampu merampungkannya. Aku juga belum sempat mengabadikan beberapa kegiatan yang kamu lakukan. Meski sebenarnya mengoleksi beberapa fotomu di Toshiba hitamku. Aku juga mengoleksi video tentang kamu disana, dengan durasi sekitar 50 menit. Tapi itu belum cukup. Belum cukup bukti untuk menguak siapa dirimu yang sebenarnya.
Sudah hampir dua tahun ini aku menjadi detektif. Tidak total sih, kadang aku mengerjakan yang lain juga. Setidaknya mengisi waktu saat aku jenuh. Aku juga lebih memilih mengerjakan tugasku yang lain, lantaran memang harus aku tunaikan. Tidak ada kesempatan bagiku bertahan di kota ini jika penyelidikanku terhadapmu selesai dengan cepat. Tidak ada waktu lagi untuk bersama. Makanya aku memilih untuk menunggu. Dan ini adalah saatnya, sembari aku juga harus mengerjakan pekerjaan yang tiba-tiba saja menghampiriku. Tak apalah, paling tidak ada banyak waktu yang bisa aku luangkan bersamamu. Sembari menggali informasi lebih banyak tentangmu. Keren kan? Sudah seperti agen-agen khusus atau detektif macam James Bond dan detektif Conan saja.
Aku menyukai pekerjaanku. Kadang-kadang sampai lupa makan dan sakit. Tapi aku bahagia. Tak terasa, tiba-tiba saja sakit. Lalu tiba-tiba sesaat kemudian aku sudah bisa tertawa. Bersama para detektif yang lain. Para agen yang sedang bekerja bersama-sama denganku.
Menjadi detektif selama dua tahun ini memberiku banyak pelajaran. Terutama tentang sabar, syukur, juga cinta. Ada banyak teman di sekitarku yang juga sedang berjuang di kota ini. Ada sih kadang beberapa orang mengatakan aku kesepian, meresa sendiri, dan akhirnya galau. Tapi bagiku, aku tidak pernah sendiri. Cinta inilah yang mengikat hati. Cinta ini tentang Allah. Kita memiliki mimpi yang sama tentang cinta itu. Aku jadi punya filosofi, hidup ini kita kok yang bikin asik. Apalagi kita sedang menjalankan misi peradaban. Makanya cinta masuk daftar list misi peradaban itu.
Menjadi detektif! Aku akan segera menyelesaikan pekerjaanku ini. Tiga, empat bulan kedepan, itu pasti..!!? Novel yang Lebih Tebal, mereka saja bisa, apalagi para detektif.

Rabu, 10 September 2014

Menyaksikan Purnama yang Lebih Indah


Tak semua cinta harus tersampaikan, biarlah dia tersembunyi di kedalaman hati. Seperti halnya bulan yang tak pernah jumpa matahari di saat malam. Rindunya tak pernah tersampaikan!
Tapi bukankah dengan begitu, kita bisa menyaksikan indahnya purnama? Jika tiba saatnya nanti, kita juga bisa rasakan betapa romantisnya saat cinta bersua, disaat terucap beberapa ikrar kata.
Kalimat panjang yang muncul begitu saja. Mungkin saat itu aku sedang menulis misi-misi peradaban, dimana cinta adalah salah satu dari misi peradaban itu. Aku juga pernah menuliskan sesuatu tentang cinta, satu kalimat saja. Cinta adalah tanda dari keberadaan Tuhan. Aku pernah menulis tentang cinta pada bagian blogku sebelumnya. Bukan hasil penelitian sih, hanya sebuah opini tentang sekelumit rasa yang ada di bongkahan hati.
Tak ada seorang ilmuan-pun yang mampu membuat satu teori pasti tentang cinta. Tapi satu hal bagiku, bahwa cinta itu adalah fitrah yang harus dijaga. Pembukan tulisan ini mungkin sudah sedikit memberikan gambaran tentang menjaga cinta. Ada tulisan menarik yang berjudul "Lelaki dalam Novel". Aku tertarik dengan kalimat di akhir-akhir tulisannya. Aku, sedang fokus memantaskan diriku menjadi lelaki seperti kata Allah dalam surat-surat cinta-Nya. Dia bukan sedang tidak PeDe dengan dirinya. Hanya saja ini adalah upaya dalam menjaga kefitrahan cinta. Aku jadi teringat saat dulu aku benar-benar terperangkap dengan kata cinta ini. Berdalih ta'aruf, tapi sebenarnya itulah saat cinta tak lagi memiliki benteng-benteng kokoh untuk menjaga kefitrahannya.
Aku malu, betapa lalainya aku menjaga cinta yang fitrah ini. Lalu terbesit sebuah kata, di luar sana, sedang ada seseorang yang sedang memantaskan diri untuk menerima cintamu. Dia sedang belajar menjadi sosok seperti dalam surat-surat cinta-Nya. Aku sadar, bahwa purnama akan lebih indah saat bulan tak bersua dengan matahari di saat malam. Purnama akan jauh lebih indah saat itu. Saat pertemuan rahasia adalah waktu yang tepat untuk berseminya bunga-bunga cinta. Saat dimana kita memberikan cinta dan menerima cinta dari orang lain. Dan matahari senja selalu indah, lalu berganti malam, bintang-bintang bertaburan, dan purnama terlihat begitu cantik.

Selasa, 09 September 2014

Kaca Mataku

Sudah beberapa pekan ini aku meninggalkan kacamataku di kotaknya. Aku bawa, tapi tidak aku pakai. Aku punya alasan sendiri mengapa tidak aku pakai, salah satunya karena aku sakit. Flu berat membuat kepala pening tepat di kening. Keberadaan kacamataku ini cukup membuat kepala jadi terasa berat. Ditambah aku harus memakai masker agar tidak mendzolimi orang-orang di sekitarku, juga agar tak banyak debu yang mampir ke hidung pesekku ini. Alhasil, aku meninggalkan kaca mata yang sudah menemaniku empat tahun ini di kotaknya.
Akibatnya lumayan membuat aku cukup kesulitan dalam melihat, terutama saat malam hari. Selain karena sudah rabun dengan jarak pandang normal bisa melihat wajah dengan jelas hanya dua sampai tiga meter. Saat malam mata ini semakin menjadi-jadi, hanya satu sampai dua meter aku baru bisa jelas melihat wajah seseorang. Tentunya karena gelap yang membuat mata ini semakin tak bisa lebih baik dalam melihat. Saat purnama semalam, aku tak bisa melihat keindahannya dengan sempurna, apalagi sambil mendorong motor yang kehabisan bensin. Perjumpaan semalam dengan purnama jadi terasa hambar dan biasa saja. Hanya menafsirkan bahwa purnama semalam begitu cantik.
Perjumpaan dengan seorang sahabat lama di gang dekat rumah singgah juga tak begitu menarik. Dia menyapaku duluan, karena aku benar-benar tak melihatnya dengan jelas. Berpura-pura jika aku pangling melihatnya karena sudah cukup lama tak bersua. Padahal baru bulan syawal kemarin kita ada acara bersama. Maafkan aku sahabatku, mata ini sedang tak menggunakan kaca mata. Tapi menjadi hangat karena senyum terbalaskan. Sedikit canda walau hanya sebentar bersua. Paling tidak aku bisa sedikit berbagi pahala, senyum indah yang menyungging di wajah tampanmu itu.
Memang nikmat mata yang bisa membuka dan melihat dengan jelas keindahan dunia adalah rizki dari Allah yang luar biasa. Alhamdulillah, meski tak begitu jelas melihat, paling tidak aku bisa seidikit ghaddul bashar. Memang tak berkaca mata itu anugerah, tapi berkaca mata jadi beda. Mungkin karena dulu aku sempat ngefens sama Harry Potter dan Conan, tapi sekarang aku lebih ngefens sama naruto yang tidak menggunakan kaca mata. Meski sampai sekarang aku juga masih ngefens sama Conan.  Ah, bicara fiksi dan animasi deh jadinya. Tapi setidaknya fiksi dan animasi ini bisa menjadi selingan saat duduk suntuk berjam-jam di depan Toshiba hitam ini mengetik tulisan-tulisan panjang lebar. Katanya sih ini karya ilmiyah yang menentukan gitu, tapi aku suka dengan istilah barunya, "Novel yang Lebih Tebal".
Kaca mata, terima kasih sudah empat tahun membersamaiku. Aku akan bersamamu di saat-saat tertentu insyaAllah. Sekarang, aku sedang memberikan udara baru pada mata ini. Boleh kan?

Minggu, 07 September 2014

Menebak Rindu

Suara serangga menemaniku malam ini
ada jangkrik dan teman-temannya
mereka ramai, seolah sedang bermain tebak-tebakan denganku
mereka berlomba-lomba menebak isi hatiku
berharap mendapat hadiah seperti kuis di TV
dan dalam keramaian itu mereka bertanya padaku
apa kau sedang merindukannya?
Biar aku sampaikan padanya malam ini
aku tersenyum memikirkan pertanyaan mereka
lalu aku mencoba menjawab pertanyaan itu
tidak.. Aku tidak merindukannya
aku menjawabnya dengan jari telunjuk yang saling menyilang dengan jari tengah
tanda aku berbohong
aku hanya sedang menulis sebuah sajak kok
itu saja..
lalu aku bertanya-tanya dalam hati dan berharap
kau melakukan hal yang sama denganku
Entahlah.. Aku terdiam sejenak lalu berbisik
aku hanya menuliskan kata-kata rindu dalam sajakku
kata demi kata yang tersulam menjadi sebuah tanya
apakah kau disana juga sedang menulis sajak sepertiku?

Catatan dari rumah singgah

Pelabuhan Beriutnya


Seperti halnya sebuah pelabuhan, tempat berlabuhnya kapal-kapal dari berbagai macam tempat di belahan dunia ini. Kapal-kapal berlabuh dalam rangka mengangkut dan menurunkan barang berikut penumpangnya. Kota ini, kampus ini, adalah pelabuhanku, tempatku singgah hendak mengangkut banyak kenangan yang ada di kota ini. Lama aku disini, sudah berjalan hampir penuh lima tahun usiaku berlabuh. Kadang berfikir hendak segera aku kibarkan layar, pergi, dan singgah di pelabuhan berikuttnya, tapi apa daya, kenangan yang aku angkut belum penuh. Terlalu banyak kenangan yang menahanku cukup lama di pelabuhan ini.
Ada yang tiba-tiba berbisik, dia yang tersimpan rapih di kedalaman jasad ini. Berbisik untuk tetap tinggal dan memasang jangkar kapal cukup di kota ini saja. Entahlah, aku hanya sedang memandang langit-langit saat itu. Membayangkan banyak pelabuhan-pelabuhan besar yang mungkin lebih ramai di depan sana. Lagi pula kaki ini terlanjur terus melangkah. Jari-jemari ini sudah mulai menuliskan mimpi pada lembaran-lembaran buku harian. Bulan telah rindu pada matahari. Waktu semalam seperti telah bertahun-tahun tak bersua. Dan novel tebal ini harus segera aku selesaikan. Sudah dinanti banyak pembaca untuk menjadi sebuah karya.
Apakah harus diam-diam kaki melangkah, menarik jangkar, dan layar aku kibarkan untuk melanjutkan perjalanan ini? Tapi itu tidaklah bijak. Meninggalkan banyak angkutan di pelabuhan. Atau aku angkut saja pada waktu malam, dikala para pekerja sedang tertidur pulas. Tanpa sadar, kapal sudah mengangkut semua angkutan kenangan dan kapal, kapal telah berlayar dari pelabuhan ini. Tak ada jejak yang tertinggal selain nama. Biar tak ada yang merindu dan kenangan hilang perlahan oleh waktu. Pekerjaan telah tertunai disini dan melanjutkan pekerjaan di tempat yang lain. Tak perlu mencari kapal yang telah pergi, karena itu yang dia inginkan. Mungkin saja kapal itu sudah tak ingat rute kembali ke pelabuhan kota ini, saat singgah di pelabuhan berikutnya.

Kamis, 04 September 2014

Para Pengelana

Panjang perjalanan yang aku tempuh. Sesaat waktu aku temukan diriku terbaring lesu, berkeringat tampak lelah dengan wajah pucat pasi. Mungkin aku saat itu sedang kurang baik, merasa kesepian dalam perjalanan panjang ini. Aku di saat itu hanya bisa mengeluh ini dan itu, seperti tak ada tempat bersandar. Hingga pada sesaat waktu berikutnya aku menemukan sandaran yang kokoh, tidak rapuh seperti yang sebelumnya. Dalam sandaran itu, aku bisa mengadu, menangis puas, berdua saja dengannya tempatku bersanadar. Sandaran itu adalah Tuhannya para pengelana.
Para pengelana, dialah aku, kamu, dan kita. Tentunya banyak yang tak menyadarinya, bahwa kita adalah para pengelana. Bahwa jalan panjang ini sebenarnya sangatlah singkat yang tak akan terasa nikmatnya hingga para pengelana terlena. Hanya saja waktu di dunia ini terlalu menggoda. Pada saat nanti, waktu akan menjadi sangat tak bersahabat. Bangun di pagi hari, tiba-tiba waktu sudah petang. Tiba-tiba, tubuh telah renta, tua, dan rapuh. Tak sempat menulis mimpi di atas batu dan tak sempat mengatakan cinta kepada Tuhannya, kepada nabiNya, kepada kedua orang tuanya, dan kepada para makhlukNya.
Pengelana, aku adalah pengelana itu. Berjalan, menempuh jarak yang teramat panjang, berharap suatu waktu aku temukan teman seperjalanan. Seseorang yang sedang menuju tujuan yang sama. Yang pada suatu waktu melaluinya, Allah ingatkan aku tentang perjalanan panjnag yang aku tempuh. Tentang tujuan dari perjalanan panjang ini, dan mengapa aku harus melangkahkan kaki ini di jalan panjang ini. Dan pada suatu waktu nanti, kita bisa bersandar di tempat yang sama, mengadu tentang terseoknya kaki ini tadi. Berharap nanti para pengelana yang bersua di tengah perjalanan ini, dapat berkumpul lagi di persinggahan abadi, yang diharap-harap saat menempuh jalan panjang nan terjal ini. Akulah para pengelana.