Minggu, 04 September 2022

Mengapa Engkau masih mendengar bisikku?


Aku yang penuh dengan maksiat

Aku yang tak bisa menjaga mataku

Melihat kesana kemari jelalatan

Mencari keindahan yang dilarang Mu

Mengapa Engkau masih mendengar bisikku?

 

Bukankah aku penuh maksiat?

Bangun pagi kesiangan

Subuh aku aduk bersama dhuha

Setelah salam aku jempalitan

Khusukku aku ragu

Mengapa Engkau masih mendengar bisikku?

 

Betapa murah Rahmatmu padaku

Pada hambamu yang lalim pada dirinya

Melupakan nikmat Mu

Yang Engkau saja tak lupa padaku

Mengapa Engkau masih mendengar bisikku?

 

Apa yang harus aku lakukan?

Bersyukur aku saja tak bisa

Hanya saja setiap aku bermaksiat

Engkau seperti memanggil hatiku

 

Hai kamu!!

Berhentilah dengan gelimang dosamu

Berhenti!!

 

Disaat itu, aku ingin berhenti

Aku kemudian berbisik dalam tengadah tanganku

Ampuni aku

Tolonglah aku menjauhi maksiat hidupku

Tak ingin aku mati sedang diri masih berlumur dosa

Ampuni aku

 

Kemudian... Nafas terengah

Aku hampir tiada

Lalu aku mati 

Kamis, 16 Desember 2021

FILSAFAT "OLAH PIKIR"

Refleksi Perkuliahan Pertama Filsafat Ilmu Prof. Dr. Marsigit, M.A. 28 Oktober 2021 Via Zoom Meeting


Filsafat itu lebih dari sekedar ilmu-ilmu bidang, tetapi tidak melampaui spiritualitas, namun dia hanya mendekati. Daya tembuh menuju spiritualitas itu tergantung dari diri kita, kemampaun, kepiawaian, ilmunya, dan pengalaman diri seseorang dalam berfilsafat.

Filsafat adalah olah pikir yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk Allah yang diberikan kemampuan oleh Allah sebagai pencipta untuk dapat berfikir. Namun sehebat-hebatnya manusia berfikir, pikiran itu tetaplah menjadi sebuah pikiran. Agar olah pikir kita dalam berfilsafat tidak tersesat dan tetap dalam koridor yang sesuai, maka ada tata cara atau hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjadi paradigmanya.

Pertama, bahwa filsafat itu adalah olah pikir dengan segala macam kosekuensinya. Kosekuensi yang perlu diperhatikan bahwa pikiran kita itu bersifat terbatas. Allah subhanahu wata’ala memberikan karunia kepada manusia berupa akal pikiran yang merupakan suatu kelebihan yang diberikan kepada manusia dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain. Dengan akal pikiran tersebut, manusia dapat berfikir dan mengaplikasikannya dalam sebuah kehidupan untuk membuat hal-hal yang dapat mempermudah pekerjaan manusia. Namun, tentu saja segala yang dimiliki manusia di dunia itu memiliki keterbatasan termasuk akal manusia. Ada Batasan-batasan yang tidak bisa dan tidak boleh dilewati. Meskipun Islam sangat memperhatikan dan memuliakan akal, namun tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal manusia. Dalam hal ini Islam memberikan Batasan ruang lingkup terhadap akal sesuai kadar kemampuannya untuk melakukan olah pikir. Sebab akal terbatas jangkauannya, tidak mungkin untuk menjangkau hakikat segala sesuatu. Maka islam menundukkan akal terhadap wahyu Allah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam.

Kedua, belajar berfilsafat harus berlandaskan kepada spiritualitas. Di dalam kerangka spiritualitas, dan menuju ke spiritualitas. Sehingga dalam berfilsafat kita selalu awali dengan berdoa, dalam doa dan menuju doa. Dan berfilsafat itu selalu dalam rangka untuk mendapatkan keberkahan manfaat atas olah pikir yang dilakukan untuk menggapai ridho Allah Subhanahu wata’ala. Ini adalah prinsip dalam berfilsafat. Maka olah pikir yang kita lakukan, jika kita padukan antara point pertama dan kedua ini olah pikir kita adalah olah pikir yang tetap dalam kerangka norma-norma agama, atau tidak dalam rangka untuk melampaui norma-norma agama. Jangan sampai olah pikir kita justru menjadi tidak terkendali, karena dalam berfilsafat itu tergantung dari filsuf dan orangnya. Jika kita dalam berfilsafat sudah muali menemukan titik jenuh atau dalam arti sampai pada tahap dimana sebuah pertanyaan tidak perlu untuk dijawab. Maka berhentilah. Beristighfar dan mohon ampun kepada Allah. Tidak perlu untuk dipaksakan hingga kita justru terjerumus dalam penyimpangan terhadap norma agama.

Selanjutnya terkait dengan sumber bacaan dalam berfilsafat, yaitu apa saja, dengan syarat. Pertama, jangan sampai sumber bacaan tersebut menurunkan kadar keimanan kita kepada Allah. Dan yang kedua, jangan sampai sumber bacaan itu mengandung unsur pengkhiyanatan terhadap negara. Seperti merubah dasar negara atau pemberontakan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika kita justru menemukan buku-buku atau sebuah referensi yang mengarah kepada hal tersebut, tinggalkan tidak perlu dibaca. Lebih baik fokus terhadap hakikat filsafat, yaitu olah pikir untuk menggapai kebermanfaatan.

Berikutnya mengenai objek filsafat. Objek filsafat ini bertingkat-tingkat, dimana objek yang paling dasar atau yang bersifat ontologis adalah yang ada dan yang mungkin ada. Kemudian ditingkatkan lagi kepada level yang kemudian lebih formal, yaitu objek formal dan material. Objek formal itu adalah wadahnya dan objek material adalah isinya.

Kemuduian, alat yang digunakan untuk berfilsafat adalah bahasa analog. Bahasa analog yang dimaksud adalah analogi, analogi keadaan, analogi dunia, analogi situasi. Hal ini lebih tinggi dari perumpamaan atau persamaan. Contoh, kita menganalogikan pikiran kita dengan dunia. Misalnya kita katakana bahwa pikiran kita adalah sama dengan dunia, maka itu tidaklah tepat. Tetapi jika kita katakana bahwa pikiran kita analog dengan dunia, itu lebih tepat. Mengapa? Karena kita tidak bisa memikirkan dunia tanpa kita pikirkan. Misalnya saja kita berfikir tentang kota-kota, kitab isa memikirkan kota Tokyo, New York, atau kutub selatan tanpa kita harus berada disana atau menuju ke tempat tersebut. Karena di dalam pikiran kita terdapat nama kota atau tempat tersebut. Kita juga bisa mengatakan bahwa hati kita itu analog dengan spiritualitas. Jika dikatakan doa atau spiritualitas, maka peganglah dada kita, hati kita. Disana terdapat keimanan, hati yang tunduk dan bergetar karena takut kepada Allah untuk mengharapkan keridhoan Allah, mengharapkan kasih dan sayang Allah. Itulah sebabnya terkadang filsafat dianggap sulit, karena objeknya meliputi apa yang ada dan yang mungkin ada.

Pembahasan selanjutnya adalah tentang metode berfilsafat. Metode berfilsafat itu ada dua, yaitu intensif dan ekstensif. Intensif itu di dalamkan, tapi karena kita sedang berfilsafat, maka mengandung maksud ditinggikan. Kemudian ekstensif itu diperluas seluas-seluasnya. Itulah sebabnya dengan cara didalamkan, maka dalam berfulsafat itu mencapai pada radikal. Radik itu akar. Maksudnya berfilsafat sampain pada sesuatu yang sudah tidak bisa digali lagi.

Kemduian pilar filsafat, yaitu hakikat, metode, dan manfaat. Hakikat adalah ontologi, metode adalah epistemology, dan manfaat adalah aksiologi. Namun jika dibalik, ontologi tidak semata-mata hakikat, espistemologi tidak semata-mata metode, dan aksiologi tidak semata-mata manfaat. Sebab, aksiologi juga ada dua, yaitu etik dan estetika.

Objek formal ontologi adalah hakekat realitas. Bagi pendekatan kuantitatif marematik realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah; telaanya akan menjadi monisme, paralelisme, atau pluralisme. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealsme, naturalisme, dan phylomorphisme.

Ontologi (Yunani) yaitu berasal dari kata kata on, ontos, yang artinya ada, kebenaran sedangkan logos adalah studi atau ilmu pengetahuan. Sehingga secara kata dapat diartikan sebagai cabang ilmu filsafat yang menyelidiki apa yang dipelajari oleh ilmu pengetahuan, Ontologi menurut A. Susanto (2019) membicarakan azaz-azaz rasional dari yang ada. ontologi berusaha mengetahui esensi yang terdalam dari yang ada. Selain itu dijelaskan juga bahwa ontologi yaitu suatu pemikiran tentang asal usul alam semesta, dari mana dan kea rah mana proses kejadiannya.

A. Susanto (2019) juga menerangkan bahwa epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. secara singkat, epistemologi dapat diartikan sebagai cara kita untuk mengetahui sesuatu. Epistimologi yang juga disebut teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan penyelidikan keshahihan pengetahuan. A. Susanto (2019) juga menerangkan tentang aksiologi. Dimana aksiologi diartikan sebagai suatu pemikiran tentang masalah-masalah nilai, termasuk nilai-nilai tinggi dari Tuhan. misalnya nilai moral, nilai agama, dan keindahan atau estetika.

Filsafat merupakan suatu fenomena yang inferensial, yaitu pikiran yang berjalan. Maksudnya berjalan itu adalah yang diucapkan dan ditulis.  Berjalan dalam apa? Berjalan dalam ruang dan waktu, dari dulu, sekarang dan yang akan datang. Aliran dalam filsafat itu seperti sungai, ada sumber airnya, ada muaranya dan cabang-cabangnya. Setiap muara ada penjaganya, yaitu para filsuf, karena para filsuf memiliki pikiran, yaitu pikiran para filsuf.

Apa muara sungai? Yaitu kehidupan kita. Kehidupan kit aitu seperti lautan yang setiap hari mendapatkan inferensi-inferensi yang mengalir begitu saja seperti aliran sungai. Sungai itu terdapat sumbernta ada gunungnya. Gunung ini adalah ilmu. Dimanapun khususnya di Indonesia khususnya di jawa, maka gunung digambarkan sebagai sebuah ilmu. Tidak hanya itu, dalam perwayangan, gunung melambangkan kehidupan. Maka gunung-gunung menjadi sumber mata air dari para filsuf. Maka di awal dan di akhir, definisi filsafat itu berbeda. Di awal definisi filsafat adalah olah pikir. Sedangkan di akhir ini, filsafat adalah pikiran para filsuf. Tidak ada filsafat tanpa mereview pikiran para filsuf.

Maka pada saat ini filsafat adalah diri kita masing-masing. Artinya, barang siapa berfikir, dia sedang berfilsafat. Apakah setiap pikiran itu berfilsafat? Dikatakan berfilsafat jika pikiran itu adalah pikiran reflektif. Pikiran reflektif itu harus memenuhi unsur pertanyaan mengapa, apa, dan bagaimana. Maka dalam berfilsafat dan bahkan semua ilmu, dimulai dengan pertanyaan. Namun ada ilmu yang tidak membutuhkan pertanyaan, yaitu ilmu spiritualitas yang ada di dalam hati yang dimulai dengan keyakinan, ia adalah keimanan. Keimana kepada Allah subhanahu wata’ala.

Apakah setiap pertanyaan bisa dijawab? Jawabannya tentu saja tidak. Tidak setiap perkara bisa ditanya, tidak setiap pertanyaan bisa dijawab. Misalnya saja urusan rumah tangga seseorang. Jadi dalam berfilsafat itu tidak boleh sembarang. Ada kendala atau penyakit dalam berfilsafat, Pertama, jika dalam belajar filsafat kita itu sepenggal-penggal. Akhirnya dalam melakukan olah pikir, kita akan mengarah kepada penyimpangan yang justru tidak memperoleh manfaat dari berfilsafat. Kedua, jika berfilsafat salah dalam menempatkan ruang dan waktu. Misalnya kita berfilsafat dengan anak-anak. Tentu ini salah sasaran, tidak tepat. Namun jika kita berbicara dengan anak-anak buah dari pada filsafat. Maka hal ini bisa disampaikan, seperti misalnya kebenaran pikiran dan kebijakan dalam pikiran. Ini adalah buah dari berfilsafat.

Sebenar-benar filsafat adalah penjelasannya Ada dua macam ilmu dalam menjelaskan filsafat, yang pertama adalah ilmu rasio (logika) dan yang kedua adalah pengalaman (kenyataan yang dialami). Jadi sebenar-benarnya ilmu dalam filsafat adalah gabungan antara pengalaman dan logika.

 

Sekian dan terima kasih atas kesempatan belajar dengan Prof. Dr. Marsigit, M.A.

Semoga pemahaman yang professor berikan dapat memberikan hikmah kepada kami untuk selanjutnya dapat kami aplikasikan dalam belajar dan mengajar.

 

Sumber lainnya:

A. Susanto. 2019. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta. PT Bumi Aksara.

Kamis, 28 Oktober 2021

SEBUAH REFLEKSI, PERTENTANGAN PARA FILSUF YANG MELAHIRKAN SUATU KEMUNAFIKAN

Pengetahuan kita didasarkan pengalaman, dari satu fenomena ke fenomena berikutnya. Sehingga karena pengalaman inilah muncul empirisme. Omong kosong, nonsense, seseorang yang belajar filsafat tanpa belajar tokohnya.

Herakleitos adalah filsuf Yunani berpendapat bahwa segala sesuatu itu berubah. Berbeda dengan Herakleitos, Parmenides yang juga filsuf Yunani yang lebih muda dan banyak menentang karya-karya dari Herakleitos, Parmenides adalah seorang filsuf yang berpendapat bahwa segala sesuatu bersifat tetap. Jika kita melihat diri seseorang, kita akan melihat apa yang tetap dan apa yang berubah pada dirinya.

Misalnya adalah latar belakang seseorang, itu bersifat tetap atau bagi say aini juga disebut takdir. Sebab latar belakang adalah hal yang tetap. Namun seseorang juga akan mengalami perubahan, bertumbuh, sebab seseorang berjalan dari satu fenomena ke fenomena lainnya, bertambahlah pengetahuannya. Tidak ada sesuatu yang tidak mengalami perubahan di dunia ini.

Hidup di dunia itu kontradiksi, sedangkan pikiran bersifat identitas. Karena terikat ruang dan waktu, maka muncul persamaan A ≠ A. Yang artinya tidak ada satupun di dunia ini yang benar-benar sama, meski itu adalah dua orang bayi yang lahir dari rahim ibu yang sama. Dua bayi yang dikatakan kembar itu, secara kontradiksi mereka sesungguhnya berbeda. Persamaan mereka hanya ada dalam pikiran kita, yang mengatakan bahwa dua bayi itu kembar atau sama. Meski sesunggunya mereka adalah dua insan yang berbeda. Ketidak mampuan pikiran kita dalam membedakan dua bayi yang sesungguhnya berbeda inilah yang menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia tidaklah sempurna. Dan ketidak sempurnaan inilah yang menyebabkan manusia bisa hidup.

Seseorang yang mempercai Tuhan itu esa, ia berarti menganut filsafat monotisme. Sedangkan yang berpendapat Tuhan itu jamak, makai a menganut filsafat pluralism. Dan yang mempercayai dia menganut dualism. Nah, Pancasila adalah monodualisme. Mono, percaya kepada yang Esa, dualism, antara Tuhan dan manusia, yaitu habluminallah dan habluminannas.

Kemudian muncul persoalan isme-isme lainnya, dan muncul seorang tokoh Bernama Immanuel kant. Namun sebelumnya juga muncul filsafat rasionalisme dengan tokoh Rene Descartes, dan skeptisisme, yang juga sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Kemudian mendapatkan pertentangan dari empirisesme, David Hume. R. Descartes menjadi seorang skeptisisme sebab ia seorang pemikir yang menjumpai sesuai yang fenomenologis. Sampai-sampai R. Descartes tidak bisa membedakan, bahkan sampai ingin memastikan keberadaan Tuhan sehingga ia meragukan keberadaan Tuhan. Keraguan itu muncul sebab Ia menemukan keberadaan Tuhan dalam kenyataan maupun di dalam alam mimpinya. Ia tidak mampu dimana yang kenyataan dan alam mimpi. Sampai ia dapat menemukan satu kunci, yaitu “aku bertanya”. “Aku tidak sedang bermimpi, karena aku sedang berfikir.” Cogitu Ergo Sum.

Aku ada karena aku berfikir. Jadi sebenar-benarnya ilmu, haruslah berdasarkan pada rasio, pada pikiran. Maka jika sesuatu yang tidaik berdasarkan pikiran, maka sesuatu itu bukan ilmu. Hal ini tentu bertentangan dengan David Hume. Seseorang yang berfikir sekeras apapun, jika tidak memiliki pengalaman, makai a belum dikatakan berilmu. Maka ilmu itu harus didasarkan pada pengalaman.

Maka muncullah Immanuel kant yang menengahi dua pertentangan tersebut. Menurut Immanuel kant ilmu itu adalah perkawinan antara sintetik dan apriori. Disinilah muncul zaman modern yang muncul sebab adanya pertentangan Rene Descartes dan David Hume.

Seirinag berjalannya waktu, maka muncullah tokoh bernama Auguste Comte. Dimana ia menurutnya, agama tidak bisa digunakan untuk membabngun dunia, sebab itu semua tidak logis. Agama atau spiritualitas berada pada posisi paling bawah dalam proses pembangunan sebuah negara. Sehingga jika dirunutkan berdasarkan prioritas dalam pembangunan agama secara berturut-turut, agama berada pada paling bawah, di atasnya metafisik, dan barulah metode positif. Posisi agama berada pada paling bawah sebab agama dianggap tidak logis.

Bagaimana dengan kita sebagai seorang umat beragama?

Mungkin kita jauh lebih dari Auguste Comte dalam hal memposisikan agama. Comte, hanya pada tataran teori. Sedangkan kita sebagai umat yang beragama, tak jarang meletakkan posisi agama pada sisi yang tidak prioritas. Telat sholat, bermalas-malasan datang beribadah, sibuk main game, sehingga lalai pada agamanya. Kemajuan teknologi ternyata secara negative justru melahirkan kemunafikan. Juga kadang kita sibuk bekerja hingga lalai dalam beribadah. Menomor duakan urusan ibadah, padahal kita mengharap pertolongan Allah. Suatu kemunafikan, hipokrit.

Terima kasih prof atas ilmunya. Mendapatkan tambahan informasi tentang rentetan pertentangan para filsuf yang ternyata melahirkan zaman yang dikatakan modern ini. Menarik tentang sebenarnya pertentangan antara Rene Descartes dengan David Hume. Meski keduanya dalam posisi yang kurang tepat jika melihat dari sudut pandang Immanuel kant. Nyatanya, dalam kondisi empiris, dua pertentangan tentang antara sintetik dengan apriori, sering terjadi. Yang merasa berpengalaman, merasa sudah unggul dengan ilmu yang mereka miliki, begitu juga sebaliknya, mereka yang memperoleh pengetahuan dari proses berfikir, merasa lebih unggul.

REFLEKSI, “Filsafat Bagian 1, by Marsigit, Thuersday 17 Okt 2019”

Jumat, 19 Februari 2016

Tere Liye: Orang yang Keberatan dengan LGBT tidak sedang Diskriminasi

Homo, lesbi, banci, itu semua adalah gangguan kejiwaan, penyakit, dan bisa ditularkan oleh gaya hidup. Silahkan rujuk buku2 text book, silahkan tanyakan ke psikiater, psikolog, dokter2. Jangan mau dibodohi propaganda bahwa itu takdir Tuhan, sudah begitu sejak bayi, dll.

Siapapun yang mau mendukung homo, lesbi, banci, maka pastikan kalian mendukung mereka agar segera sembuh, diobati, melawan gangguan jiwa tersebut. Bukan agar tambah parah penyakitnya, malah dipromosikan, dipropagandakan. Karena jika itu yang kalian lakukan, kalian sesungguhnya tidak paham apa yang sedang kalian dukung. Malah menjerumuskan mereka.

Ingat baik-baik, ketika orang lain keberatan dengan homo, lesbi, banci, maka bukan berarti orang lain itu sedang diskriminasi. Tidak, dek. Tapi pertanyaan besarnya adalah: kalian mau sembuh? Atau kalian mau bebas-bebasan dengan penyakit tersebut, merasa tidak berdosa, terserah mau ngapain?

Tere Liye
(19/2/2016)


Postingan beliau di Facebook yang telah dihapus. Tapi itu hak Facebook, tidak masalah. Kita hanya perlu mengabarkan kepada orang lain lebih sering dari biasanya.

Rabu, 03 Februari 2016

Hujan yang Menjadi Gerimis

Puas rasanya bumi dicumbui rindu oleh langit. Hujan! Dua belas jam lebih ku hitung, tanah ini basah kuyup. Kaca jendela yang mengembun. Diam-diam ku tuliskan deretan kosakata cinta disana. Terangkai manis, menjadi doa yang bisa dibaca oleh siapa saja yang menyukai hujan. Lalu ku bisikkan dalam larut ketundukan kepada Tuhan. Berharap rahmatNya turut mengiringi.
Ada fajar yang tak biasa hari ini. Langit yang masih tampak malu membuka tabirnya. Hujan yang menjadi gerimis. Ada rindu seperti hujan yang tadi turut terpanjatkan ke langit. Ku bisikkan lamat-lamat berharap itu sampai di tujuan. Seperti rindunya langit kepada bumi.