Senin, 06 April 2015

Bertahan!


Lelah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah  kata sifat (Adjektiva) yang memiliki padanan kata dengan penat; letih; payah; lesu; tidak bertenaga. Jika ditambah imbuhan ke-an menjadi kata sifat perihal (keadaan) lelah. Menurut David Arnot, dkk (2009) dalam bukunya Pustaka Kesehatan Populer Mengenal Berbagai Macam Penyakit. Kelelahan adalah suatu kondisi pada tubuh manusia merasa lelah secara alami, yang biasa terjadi setelah latihan fisik atau mental yang berat.

Maraton adalah ajang lari jarak jauh sepanjang 42,195 km yang dapat ditempuh sebagai lomba di jalan raya maupun luar jalan raya (offroad). Seorang pelari maraton yang harus menempuh jarak 42,195 km tidak mungkin menggunakan lari sprint atau lari jarak pendek. Jika hal itu dilakukan justru akan membuat pelari maraton akan cepat lelah dan akhirnya tidak bisa mencapai garis finish. Bisa saja pelari tersebut sampai di garis finish, tapi untuk mencapai posisi maksimal nampaknya akan sulit karena sang pelari mengalami kelelahan akibat aktivitas fisik yang terlalu berat.

Analogi di atas setidaknya dapat memberikan gambaran tentang tulisan yang anda baca pada paragraf selanjutnya. Tentang kelelahan yang menghinggapi para aktivis! Meski dalam beberapa gambaran cerita nanti kami akan kaitkan pula dengan orientasi, niat. Analogi yang kami gunakan di atas mungkin akan cukup tendensius. Hal ini perlu kami sampaikan, agar terlepas dari perkara-perkara yang bersifat sinisme. Sehingga pembaca akan tetap melihat orang-orang yang kami ceritakan disini dengan kacamata hikmah, bukan sinisme akut yang justru menimbulkan kekecewaan sepihak.

Saat pertama kali memasuki "kawah candradimuka" ini ada sebesit keinginan untuk dapat meraih posisi nomor wahid di kawah candradimuka ini. Tapi tersebsit juga perasaan malas dan bosan dengan segudang aktivitas yang menurut kedua orang tuaku saat itu tidak bermanfaat. Apalagi saat itu rasa-rasanya aku lebih menyukai aktivitas akademik dan memasang target 3,5 tahun lulus. Sebuah mimpi dan cita-cita! Namun pada akhirnya singgahlah aku di sebuah pelayaran yang membawaku ke tengah samudera petualangan yang tidak pernah sekalipun menghampiri mimpi dalam tidurku. Berjumpa kawan-kawan dengan beragam cita dan orientasi. Berjumpa kawan-kawan dengan latar belakang yang luar biasa. Hingga sampailah aku disebuah pelabuhan yang mempertemukanku dengan sekelompok manusia yang luar biasa.

Beberapa dari mereka adalah orang-orang yang aku kenal saat orientasi kampus. Maklum, mereka adalah orang yang menurutku amat kritis dengan segudang pengalaman dan pengetahuan yang luar biasa. Ada pula kawan yang aku mengenalnya karena satu kelompok saat orientasi. Mereka adalah orang-orang luar biasa menurutku. Buktinya mereka semua telah mendahuluiku menyebarkan pengalaman dan pengetahuan mereka setelah menuntaskan cerita di kawah candradimuka.

Memulai pelayaran di samudra yang ganas ini – meski hanya dalam sebuah laboratorium besar – dengan kecepatan normal pelari maraton. Berusaha mengejar kawan-kawan yang sudah lebih dulu mendayung dengan kencang mengarungi samudra. Tak jarang di sela-sela perjalanan menemukan kapal yang sudah karam sebelum mencapai pertengahan jalan. Ada pula kapal yang berhenti sejenak lalu mendayung kembali dengan kecepatan yang jauh lebih pelan dari sebelumnya. Ada pula yang mendayung konstan. Dan ada yang mendayung dengan kecepatan yang fleksibel namun tetap memegang teguh prinsip untuk tetap dapat menggapai garis finish.

Ada rasa kehilangan. Mereka yang dulu sama-sama dibesarkan dalam satu laboratorium tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Parahnya ada pula yang justru menjadi batu sandungan dalam perjalanan. Ada seseorang yang berbisik, "begitulah hati, hanya Allah yang punya kehendak membolak-balikkan". Meski tak ada jaminan orang yang berkata ini akan istiqomah. Akhir, hanya Allah yang tahu. Tapi dari sinilah akhirnya kami menemukan bahwa hadis Nabi ini telah menggambarkan dengan terang. "Iman itu kadang naik kadang turun, maka perbaharuilah iman kalian dengan la ilaha illallah" (HR Ibnu Hibban). Berlari kencang bahkan sampai meninggalkan kawan-kawannya, tapi di tengah perjalanan justru menyatakan berhenti adalah pilihan yang amat tidak tepat. Wajar saja, dia kelelahan! Dia menemukan kejumudan! Ini adalah masalah pertama yang alami. Namun seharusnya saat kelahan itu dia semakin mendekat dengan la ilaha illallah. Bertahan di dalam lingkungan yang akan membantunya untuk menjaga energinya tetap stabil, meski telah amat memaksakan diri berlari kencang. Lingkungan ini pula yang akan mengingatkan "Hei, bersabarlah... Jangan tergesa-gesa". Dan sudah pasti, hati dan telinga ini harus setebal baja untuk dapat mendengar kalimat itu. Karena sudah pasti tidak hanya satu dua orang yang akan mengingatkan. Maka bertahanlah bersama "mereka"!

Lelah orientasi adalah masalah selanjutnya. Banyak di antara pelari itu membelot dan menjadi batu sandungan di tengah perjalanan. Kadang mereka seperti sebuah sel kanker stadium akhir. Menggerogoti tubuh dari dalam dan amat sulit disembuhkan. Tak jarang penderitanya harus menghembuskan nafasnya yang terakhir. Hilanglah ia dari radar bak pesawat siluman atau pergi jauh tak tertangkap lagi oleh radar.

Perjalanan yang seharusnya berorientasi kepada la ilaha illallah, bergeser seratus delapan puluh derajat. Syahwat politik dan cinta menjadi ujian nyata di laboratorium candradimuka. Bukan berarti menyalahkan politik dan cinta, karena keduanya bersifat netral. Hanya saja, ide dalam otaklah yang lebih berbahaya jika gagal disandingkan dengan iman. Betapa rendahnya akal jika tak disandingkan dengan iman, dan betapa semunya iman jika tak bersanding dengan akal. Keduanya adalah konotasi yang saling berkaitan. Butalah ilmu tanpa iman dan lumpuhlah iman tanpa ilmu. Belum lagi bicara persoalan adab. Adakah kepala semakin tegak setinggi bukit karena ilmu yang dimiliki? Padahal baru seumur jagung menimba ilmu dan tak sebanding dengan samudra ilmu pengetahuan milik Allah. Maka banyak para pelari yang justru tersesat di belantara dunia, karena buta tak tahu arah dan tujuan. Kecewa syahwatnya tak terpenuhi hingga akhirnya pergi meninggalkan "mereka" orang-orang yang mencintaimu karena Sang pemilik ilmu. Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaanNya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS Al-Kahfi: 28).

Turbulensi apapun yang engkau alami, bersabarlah engkau bersama-sama dengan "mereka". Seperti inilah jalan yang akan dilalui saat engkau memilih intima' dengan jalan ini.  Bertahanlah disini, hingga satu demi satu kita dipanggilNya menghadap mempertanggung jawabkan perjalanan yang telah ditempuh. Dan bersiap siagalah! Semoga Allah istiqomahkan. Aamiin...

Minggu, 05 April 2015

Memperbaiki Indonesia

Jika ditanyakan kepadamu sebuah pertanyaan , "Apa masalah mendasar yang terjadi di Indonesia?" Maka apa jawaban yang akan kamu berikan?

Teringat dengan Abdur jebolan stand up comedy salah satu stasiun televisi swasta Indonesia. Di awal stand upnya dia bercerita bahwa Indonesia ini bagaikan kapal tua yang sudah tujuh kali berganti nahkoda. Tapi ternyata kapal tua yang bernama Indonesia ini belum juga dapat berlayar dengan stabil. Seperti ada yang salah dengan kapal tua yang sedang mencoba mengarungi samudra ini.

Pertanyaan pembuka di atas adalah sebuah pertanyaan yang Maz Aza (Ketua KAMMI Wilayah DIY) tanyakan kepada seluruh peserta dalam salah satu diskusi Daurah Marhalah 3 (DM3) Jogja (Program kerja kaderisasi KAMMI Wilayah DIY). Banyak jawaban yang dilontarkan oleh peserta DM3 Jogja. Mulai dari masalah politik, hukum, ekonomi, kepemimpinan, sampai masalah pendidikan. Saat itu menurut penulis semua jawaban yang peserta berikan dalam diskusi itu benar, tapi hanya saja penulis merasa ada sesuatu yang seharusnya menjadi benar-benar dasar dari permasalahan itu. Seperti halnya sebuah sungai yang mengalir sampai ke muara. Pasti ada hulu dari sungai itu tempat suatu sungai bermula, dan tempat sumber-sumber airnya berlokasi. Permasalahan yang terjadi di Indonesia pasti ada hulunya. Hulu permasalahan yang menyebabkan kapal tua Indonesia ini belum bisa berlayar dengan stabil.

Setelah merenungi hulu persoalan itu, akhirnya penulis menyimpulkan sebuah jawaban yaitu kemiskinan. Kemiskinan yang dimaksud yaitu kemiskinan iman dan kemiskinan material. Maksudnya adalah berkaitan dengan kebodohan dalam hal beragama dan dunia. Dua masalah ini memiliki hubungan konotasi yang sangat erat. Misalnya pertama, adalah Bangsa Qurasy yang disebut sebagai orang jahiliyah, bukan karena mereka bodoh dalam hal ekonomi, tapi karena bodoh dalam hal beragama. Allah berfirman, "Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan." (QS Quraisy: 1-4). Kejahiliyahan Bangsa Qurasy juga digambarkan oleh Ja'far bin Abi Tholib dihadapan raja Najasyi: "Wahai raja, ketika kami masih hidup di jaman jahiliyah, kami menyembah patung, senantiasa makan bangkai, senang pada barang keji, kami putuskan tali kekeluargaan dan hubungan baik dengan tetangga dan kami selalu memusuhi orang lemah".

Kedua, diantara sebab kemiskinan material adalah kebodohan dalam beragama. Sebagaimana firman Allah, "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS Al-A'raf: 96). Sebagai contohnya adalah bencana narkoba yang melanda Indonesia. Meski memang bencana ini menyerang banyak kalangan tapi pemuda sebagai aset utama bangsa ini adalah korban utamanya. Pendidikan agama yang lemah menyebabkan pemuda negeri ini amat rawan terserang bencana narkoba. Belum lagi permasalahan sex bebas yang korbannya mulai dari pejabat sampai anak-anak sekolah dasar. Masyarakat justru lebih sibuk dalam perdebatan ritual-ritual keagamaan yang kadang menimbulkan gesekan horizontal. Negara yang mayoritas muslim ini, justru menjadikan agama tak lebih sebagai komoditas untuk melegitimasi kekuasaan. Alih-alih menjual revolusi mental yang terjadi ternyata sebaliknya. Negara ini belum lama telah memblokir situs-situs Islam yang dianggap mengajarkan radikalisme. Padahal sekali lagi justru masalahnya adalah karena kebodohan dalam beragama yang menyebabkan semua masalah ini terjadi, bencana narkoba, sex bebas, hingga radikalisme. Masalah korupsi yang menyerang para pejabat negeri ini juga tak kalah mengerikan. Orientasi materi dengan melupakan orientasi akhirat benar-benar telah menggelapkan hati para pejabat. Mereka tak takut lagi dengan Tuhannya yang senantiasa mengawasi. Maka wajar jika banyak aset negara yang justru dijual kepada asing. Kebdodohan yang melanda Negara Indonesia menyebabkan begitu mudahnya kekayaan negara diserahkan kepada orang lain. Miskinlah negara yang kaya ini!

Maka pertanyaannya pun berlanjut. Bagaimana cara mengatasi permasalah yang ada di Indonesia?

Berkaca dari dakwah Rasulullah Muhammad Saw, mulai dari fase sirriyatud dakwah sampai fase jahriyatud dakwah. Dakwah pertama yang beliau lakukan pertama kali adalah dakwah aqidah; memperbaiki kejahiliyahan yang melanda Bangsa Qurasy. Allah berfirman, "Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum engkau melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku." (QS Al-Anbiya: 25). Selain masalah tauhid, kejahiliyahan yang Ja'far bin Abi Tholib gambarkan amat jelas bagaimana buruknya akhlak Bangsa Qurasy. Maka Rasulullah pun bersabda, "Sesungguhnya aku diutus ke bumi hanyalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak." Dan Allah juga berfirman, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (QS Al-Ahzab: 21).

Pokok dari perbaikan itu terletak pada perbaikan aqidah masyarakatnya. Masyarakat beserta pemimpinnya harus kembali kepada agamanya sebagai pembimbing hidupnya. Agama yang akan membimbingnya dalam mengarungi samudera yang penuh dengan gelombang dan badai yang siap menerjang. Agama ini pula yang akan memperbaiki akhlak pemimpin dan rakyat Indonesia. Seperti yang Rasulullah lakukan kepada masyarakat arab yang jahiliyah dan terbelakang, menjadi masyarakat yang lebih beradab. Sehingga terciptalah sebuah negeri madani yang menjadi sumber peradaban baru dunia. Peradaban yang muncul di tengah-tengah dua imperium besar, Persia dan Romawi yang kelak akan ditaklukkan oleh peradaban Islam.


Lalu dengan kondisi yang sudah amat tertinggal akankah Bangsa Indonesia mampu menjadi masyarakat madani?

Pertama-tama penulis jelaskan apa yang dimaksud dengan Masyarakat Madani. Menurut Nurcholis Madjid, masyarakat madani adalah masyarakat yang merujuk pada masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi Muhammad Saw di Madinah. Masyarakat kota atau masyarakat berperadaban dengan ciri antara lain egaliteran (kesederajatan), menghargai prestasi, keterbukaan, toleransi dan musyawarah. Lebih lanjut, Anwar Ibrahim (mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia) menjelaskan, bahwa masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari individu dan masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.

Maka tidak ada cara lain untuk memperbaiki Indonesia agar mampu menjadi masyarakat madani adalah dengan mengikuti petunjuk yang Allah dan RasulNya contohkan. Merujuk kembali kepada dasar dari syari'at yang terdapat dalam Agama. Syari'at yang telah membimbing peradaban Islam – Negara Madani di tanah Arab – menemui kejayaannya. Sebagaimana yang Imam Malik sampaikan, bahwa "Umat Islam tidak akan kembali mencapai kejayaannya sebelum mereka kembali melakukan apa yang umat terdahulu lakukan. Yaitu kembali kepada Al-Qur'an dan Sunah". Artinya mau tidak mau jika Indonesia ingin serius memperbaiki Negara, maka mau tidak mau Indonesia harus menjadikan agama sebagai dasar pijakan dalam setiap aspek kehidupan individu maupun sosial.

Merujuk kepada dasar Negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila. Pasal pertama dengan jelas menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Aapalagi di dalam Preambul UUD 1945 alenia ketiga dengan amat jelas menyebutkan “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…” Yang artinya, bahwa negara ini tidak bisa dilepaskan dari konsep ketuhanan. Keberadaan agama untuk membimbing berlayarnya kapal yang bernama Indonesia ini menjadi sebuah keniscayaan. Terutama adalah bidang pendidikan sebagai tools yang akan menciptakan pemimpin-pemimpin muda, aset utama bangsa ini. Pendidikan inilah yang akan membentuk nalar intelektualitas dan moralitas dari pemuda-pemuda yang akan mengisi pos-pos strategis di negara ini. Pemuda-pemuda segar dengan intelektualitas dan moralitas serta kecintaannya terhadap agama dan negaranya. Maka bukan tidak mungkin kapal yang bernama Indonesia ini akan dapat berlayar dengan gagahnya, mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan gelombang yang menerjang-nerjang. Karena memiliki awak kapal yang cerdas dan bermoral sehingga mampu bersaing dengan kepala yang telah tegak dan hati yang lurus penuh ketundukan kepada Allah Swt.

Sabtu, 04 April 2015

Untukmu di Grup MSM

Cepat atau lambat, pada akhirnya kita akan tetap menempuh jalan dengan gerbong yang berbeda. Meski memang gerbong yang akan kita naiki belum pasti. Tapi sebagai salam perpisahan kepada siapapun di dalam gerbong ini. Aku ingin ucapkan permohonan maafku kepada kalian. Aku juga harus ucapkan terima kasih karena aku telah diizinkan untuk mampir di dalam lembaran memori kalian.
Aku berdoa, semoga Allah dapat mengumpulkan kita kembali kelak di syurgaNya. Dan semoga Allah senantiasa merahmati kalian dalam setiap perjuangan menunaikan amanah yang tersemat di pundak ini.
Sebenarnya mau Cc, tapi kayanya gak usah deh yah? ^_^
Tetap ingat yah? Jadikan rabithah pengikatnya, jadikan doa ekspresi rindu. Semoga kita bersua di syurga

Jadi keinget sama lagu ini, "Senandung Ukhuwah" :-D

Di awal kita bersua
Mencoba tuk saling memahami
Keping-keping di hati
Terajut dengan indah
Rasakan persaudaraan kita

Dan masa pun silih berganti
Ukhuwah dan amanah tertunaikan
Berpeluh suka dan duka kita jalani semua
Semata-mata harapkan ridho-Nya

Sahabat tibalah masanya
Bersua pasti ada berpisah
Bila nanti kita jauh berpisah
Jadikan rabithah pengikatnya
Jadikan doa ekspresi rindu
Semoga kita bersua di syurga


Kamis, 02 April 2015

Kontradiktif!



Sangat kontradiktif rasanya!

Ada pertanyaan yang diajukan padaku saat menjalani proses seleksi DM3 lalu. “Apa yang memotivasi anda untuk mengikuti DM3?” Yang aku ingat saat itu, sepertinya jawabanku tidak menjawab pertanyaan itu.
“Sebelumnya saya mau bicara jujur. Jujur sebenarnya saya sangat berminat untuk mengikuti DM3. Tapi ada hal yang menjadikan keberminatanku iyu luntur dan akhirnya membuatku harus mengurungkan niat itu. Persoalan akademik yang sampai hari ini terbengkalai! (Dalam hati berkata, aku serasa amat tak bertanggung jawab. Padahal ini adalah amanah dari ibu dan bapak). Meski padaakhirnya karena dorongan beberapa orang, akhirnya aku memberanikan diri untuk mendaftar dan mengikuti prosesnya.”
Kira-kira sebuah jawaban yang sedikit menggambarkan bagaimana gejolak hati yang merasa amat tak seimbang dengan aktivitasku. Benar saja. DM3 yang aku ikuti ternyata banyak mengulas tentang persoalan yang ada di Indonesia dan hal pertama dan utama yang dibicarakan berulang-ulang adalah tentang perbaikan diri. Aku berontak berkali-kali di dalam hati. “Ada hal yang belum selesai pada dirimu, Rakhyan”. Mungkin akhirnya dalih pengorbanan menjadi andalan untuk berkilah. Membenarkan segala kemalasan yang membuat semuanya jadi tak seimbang.
Begitu aktif rasanya jasad ini mondar-mandir menghadiri berbagai macam acara. Baik sebagai pembicara ataupun peserta. Tapi persoalan pribadi terabaikan bahkan kadang terlupakan. Mungkin beberapa kawan yang pernah berkunjung ke kamar kosku dulu bias mengamini, seberapa besar rasa malas orang ini. Amat berantakan! Tidak mencerminkan sebagai orang yang dikatakan aktivis.
Belum lagi kadang saat menjalankan amanah, kadang masih setengah hati. Bagaimana mungkin Allah memberikan keberkahan jika aktivisnya justru menghijabnya dengan kemalasan. Mungkin benar kata-kata bijak ini, "Al-Islam mahjubun bil muslimin"