Kamis, 21 Maret 2013

Jika Aku Menjadi Kiai YS


By: Nandang Burhanudin
****

Mungkin saya hanyalah cucu, baik dari usia kalender maupun usia dakwah. Kiai Yuk Sholeh sudah bergelar LC, saat aku baru lulus pesantren. Beliau sudah memimpin lembaga pendidikan tempat para mahasiswa/i belajar mengaji.

Pernah tahun 95, aku ikut mabit di masjid kampusnya yang terkenal itu di salah satu pinggiran kota Jakarta. Lama tak pernah jumpa, aku temukan di salah satu tabloid Kiai Yuk Sholeh menjadi pendiri salah satu parpol Islam yang bernama PeKa. Waktu itu, aku baru bergabung dengan kafilah sekedar menjadi pendukung saat ada acara rihlah, sepakbola, atau membantu buletin mahasiswa.

Kini setelah belasan tahun kemudian. Nama Kiai Yuk Sholeh kembali mentereng. Hadir di setiap acara TV, tampilannya masih seperti dulu, sederhana dan berwibawa. Padahal saya, sudah mengalami overweight dan perut sudah tidak PK tapi PKS (Perut Kedepan Sedikit).

Ada hal yang membuat diri yang dhoif ini terheran-heran, mengamati lontaran kata dan alur pemikiran Kiai Yuk Sholeh yang nampak telah berubah. Hampir tidak percaya bahwa beliau adalah orang yang pernah dulu ikut menyimak taujihnya, yang penuh nutrisi ruhiah dan gizi jiwa yang membahana.

Lantas saya pun bertanya, ada apa gerangan yang terjadi? Setelah bertanya ke kanan-kiri-depan-belakang-atas-bawah, saya menemukan jawaban bahwa Kiai Yuk Sholeh merasa terhina-kecewa-dan tidak lagi dihargai oleh komunitas partai yang dulu beliau gagas dan deklarasikan. Kekecewaan beliau adalah akumulasi dari mispersepsi dan -katanya-komunikasi syuro yang tidak jalan. Selain adanya fragmen kehidupan yang semakin hidup, hingga beliau merasa dipinggirkan. Rasanya saya tak patut memberi nasihat, apalagi menyampaikan pendapat. Saya tengah mengkhayal, andai suatu hari saya bernasib sama dengan Kiai Yuk Sholeh, apa gerangan yang akan saya lakukan?

Saya menemukan jawaban di agenda yang waktu lulus pesantren dulu saya tulis:

1. Jangan bersedih bila tidak dihargai. Bersedihlah bila tidak berharga. 

Dihargai dengan menunggu dihargai atau mendapatkan penghargaan orang, adalah dua hal yang berbeda. Seseorang dihargai pasti ada hukum kausalitas sebelumnya. Peran Kiai Yuk Sholeh, patut diberikan penghargaan. Karena sumbangsihnya dalam mencetak kader-kader militan, belum ada yang mengimbangi. Andai ada salah-khilaf-alpa, maka sejatinya kita memberikan permakluman karena kebaikannya menutupi kesalahannya. Ini sikap saya. 

Namun saat ada perasaan dalam diri Kiai Yuk Sholeh, bahwa beliau adalah The Special One dan oleh karena itu tata laksana dan tata aturan organisasi dilabrak, lalu ada peringatan yang diberikan, maka jika saya menjadi beliau: saya akan mundur teratur dalam hening...

  • Mundur lebih terhormat dan mencerminkan sikap elegan seorang tokoh pencetak kader-kader militan.
  • Mundur mencerminkan bahwa apa yang dilakukan semuanya Lillah, bukan Lil-Jaah (kehormatan/penghargaan).
  • Mundur sebagai ekspresi bahwa perjuangannya telah sukses, karena telah siap pengganti kader-kader yang lebih muda, fresh, dan relevan dengan zaman.
  • Mundur untuk meningkatkan kapasitas diri, dari seorang pencetus/deklarator, menjadi "ideolog" yang niscaya akan menjadi magnet dan pusaran pergerakan.

Mengapa mundur dalam hening? Bagi sosok pembina kader, hiruk pikuk politik teramat kisruh dan bisa mengotori jiwa. Maka mundur dalam hening berarti:

  • Memosisikan diri sebagai Kaatimus sirri (Penutup rapat semua rahasia) dan aib komunitas. Seperti para pejuang tempo dulu, "Lebih baik berurai isi perut daripada salah ucap membuka rahasia perjuangan."
  • Memilih peran Nashihun Liikhwaanihi (Pemberi nasihat bagi saudara seperjuangan). Sebab persaudaraan di antara kita, tidak didasarkan pada nasab-nashib (jatah,bagian), nisbi (kebangsaan/keturunan/suku). Tapi lebih didasari pada pola perjuangan untuk 'Izzul Islam wal Muslimin.

Siapapun akan memahami, persaudaraan itu diikat dengan Kalimatullah. Oleh karena itu, bila ada yang lalai dengan Kalimatullah, seyogyanya bukan dengan mengumbar di luar, atau membuat tandingan, atau memburuk-burukkan saudara seperjuangan. Tapi menasihati lebih mendalam, karena bisa jadi sekian lama kita berteman, ukhuwah itu sudah terlalu kering untuk disegarkan. Ibarat penunggu mayat, ia tak lagi tergugah dengan kematian.

  • Memilih keheningan dengan bertaqorrub sepenuh hati kepada Allah. Ingat umur, ingat mati, ingat hidup hanya satu kali. Demikian nasihat yang telah menjadi lagu. Saya dan semua orang akan bertanya, apa yang buya cari? Bukankah dunia ini fana belaka? Lalu mengapa masih meributkan harta-pangkat-kedudukan? Bukankah keheningan taqarrub banyak dirindukan salafus shalih? Lalu mengapa malah memilih kegaduhan politik yang ditonton jutaan cucu-cucu dari kader-kader yang dulu dibina?
  • Back to Ma'had, kembali fokus mengurusi pendidikan umat terutama generasi muda daripada bergabung dengan parpol yang ideologi, blueprint perjuangan, dan lingkungannya bertentangan dengan suara batin.

2. Bila saya sebagai Kiai Yuk Sholeh, maka konsistensi untuk menjadi pengawas atau guru bangsa (minimal guru semua kader) itu lebih diutamakan. Hal ini yang dilakukan Mandella, saat memutuskan pensiun dan membuka pintu maaf bagi semua masa kelam. Mandella fokus menghabiskan sisa usia untuk kemajuan pendidikan dan mengubah mindset generasi muda Afsel. Lalu mengapa yang terjadi sebaliknya? Ternyata jawabannya telah dikemukakan oleh Imam Hasan Al-Banna setengah abad lebih, "Medan tempur pertama kita adalah diri diri kita sendiri. Jika mampu mengalahkan, maka kita akan sangat mampu mengalahkan yang lainnya. Namun jika kita tak mampu mengalahkannya, maka jangan berharap kita mampu melawan selain diri kita."

Jadi, terkadang "pembiaran" ada manfaatnya untuk dilakukan. Toh sekotor-kotornya mutiara, ia akan kembali mampu menjaga kualitas diri dan akan mampu terus bersinar. Mari terus menggempur diri kita. Karena dunia menanti generasi muda yang unggul dengan kebersihan jiwa yang sempurna, akhlak yang kuat dan utama. Mari menjadi sosok kaum muda unggul bernilai surgawi. Jangan pernah putus asa. []

20-03-13 

Sumber: http://www.pkspiyungan.org/2013/03/jika-aku-menjadi-kiai-ys.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar