Sabtu, 23 Maret 2013

Merealisasikan QS An-Nisa: 9 dan QS Ali Imran: 110


Hari ini dibelajarkan dengan banyak hal tentang estafet kepemimpinan. Waktu empat tahun sangat terasa singkat, mungkin karena aku yang tak banyak memberikan kontribusi berarti dalam jalan ini. Meski demikian aku rasa ini bukan saatnya menyesalinya, namun bagaimana membuatnya menjadi bubur yang lebih nikmat. Menjadi dosa yang sangat tidak terlupakan seumur hidup dan menjadi mimpi buruk saat berjumpa dengan Allah, hal ini karena aku belum mampu berbuat banyak untuk mnyiapkan generasi yang kuat dan tangguh di masa mendatang. Mungkin mereka ada, tapi sepertinya kontribusiku di sana sangatlah kecil. Padahal Allah dalam berfirman:
"dan hendaklah takut (kepada Allah)orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar." (QS An-Nisa: 9)
Generasi yang baik adalah generasi yang mempu menyiapkan generasi setelahnya lebih baik dari generasinya. Artinya menjadi "pekerjaan rumah" yang prioritas untuk direalisasikan, bahwa pendidikan yang kontinu dengan memperhatikan sisi-sisi pilar yang membentuk manusia menjadi sebuah sistem yang harus rampungkan. Dalam hal ini merujuk pula pada firman Allah dalam QS Ali Imran: 110 "Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik."

Jika kita merujuk pada generasi para sahabat dan tabi'in, maka tentu ayat ini sangat tepat, namun dengan kondisi kita hari ini. Sudahkan kita menjadi generasi yang bergelar "umat terbaik"? Maka yang harus dikoreksi sekali lagi adalah proses pembinaan yang diterapkan pada generasi ini.

Tentunya tidak ada yang meragukan kualitas generasi sahabat yang dahsyat dan memiliki potensi yang mampu membuat sebuah negara yang berada di tengah gurun menjadi negara yang cukup disegani oleh negara adikuasa seperti persia dan romawi. Meski demikian, ternyata saat Rasulullah Saw wafat, beliau menyebut-nyebut umatku... umatku... dan umatku... Ada apakah ini? Dan kita saat ini sudah melihat, ternayata kekhawatiran Rasulullah Saw terjadi. Kemudian pertanyaan selanjutnya, apa yang membuat generasi sahabat menjadi generasi terbaik dan generasi kita saat ini belum menunjukkan tajinya sebagai umat terbaik? Jawaban yang sekali lagi aku katakan adalah pembinaan yang komprehensif seperti yang telah aku sampaikan sebelumnya. Jadi bukan karena pada waktu itu ada Rasulullah yang mendampingi langsung perjalanan sahabat, melainkan peran Rasulullah yang sangat luar biasa dalam penerapan sistem pendidikan yang bersumber langsung dari Allah. Hal ini dapat kita rujuk dalam buku Manhaj Haraki pada bab Karakteristik Keenam: Al-Qur'an Sumber Penerimaan. Kita diajarkan tentang sebuah sistem pendidikan di mana pada generasi ini tidak menerima pelajaran selain dari wahyu al-Qur’an atau hadits Rasul saw. Namun, wahyu ini telah sanggup merontokkan segala kotoran, ideologi, dan nilai-nilai jahiliah yang melekat di dada mereka, digantikan oleh nilai-nilai baru yang datang dari Allah, Penguasa alam semesta. Penerimaan al-Qur’an berlangsung di sana (Darul Arqam). Manakala setiap muslim telah mendapatkan bekal beberapa ayat dari al-Qur’an, Jibril turun kembali membawa ayat-ayat al-Qur’an ke dalam hati Muhammad saw. Ayat-ayat ini cukup untuk mengkader dan melahirkan generasi Qur’an yang unik.

Indonesia, sebagai negara dengan komunitas umat Islam terbesar di dunia dan kekayaan melimpahnya baik SDA maupun SDM, ternyata belum mampu menjadi seperti Mekah dan Madinah yang muncul menjadi wilayah yang cukup disegani. Apa kabar Indonesia hari ini? Jika kita ingin meninggalkan generasi tang unggul dan kuat, maka yang harus kita selesaikan pertama kali adalah pendidikan atau dalam bahasa kerennya adalah "tarbiyah islamiyah". Dalam banyak sejarah kita dapat mengenal tokoh-tokoh ilmuan Islam yang terkemuka dan mampu memberikan kontribusi yang signifikan untuk dunia bahkan hingga saat ini. Misanya Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi atau dikenali sebagai Rhazes di dunia barat merupakan salah seorang pakar sains Iran yang hidup antara tahun 864 – 930. Ar-Razi juga diketahui sebagai ilmuwan serbabisa dan dianggap sebagai salah satu ilmuwan terbesar dalam Islam.

Abu Ali Muhammad al-Hassan ibnu al-Haitham atau Ibnu Haitham (Basra,965 – Kairo 1039), dikenal dalam kalangan cerdik pandai di Barat, dengan nama Alhazen, adalah seorang ilmuwan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak, matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Ia banyak pula melakukan penyelidikan mengenai cahaya, dan telah memberikan ilham kepada ahli sains barat seperti Boger, Bacon, dan Kepler dalam menciptakan mikroskop serta teleskop. Bidang lain: Physics,Optics, Mathematics.

Abu Nasir Al-Farabi Orang barat menyebutnya dengan ALFARABIUS. Ia hidup tahun antara tahun 870-900 Masehi dan merupakan tokoh Islam yang pertama dalam bidang Logika. Al Farabi juga mengembangkan dan mempelajari ilmu Fisika, Matematika, Etika, Filosofi, Politik, dan sebagainya. Bidang lain: Sociology, Logic, Philosophy, Political Science, Music. Kemuadian Al Ghazali (1111); pelopor pembuat klasifikasi fungsi sosial pengetahuan yang dalam perkembangannya mengarah timbulnya berbagai jenis referensi dan karya bibliografi, ahli ilmu kalam, ahli tasawuf.

Masih banyak lagi lainnya dan kesemuanya memiliki pendidikan atau tarbiyah yang kontinu dengan memperhatikan pada asal ilmu itu, yaitu Allah. Pada Manhaj Haraki bab karakteristik ketujuhPertemuan Rutin dan Kontinu, dibahas mengenai bagaimana pendidikan secara kontinu itu berlangsung di darul Araqom antara qiyadah dan para jundi ini akan memadamkan api fitnah, membakar habis segala bentuk prasangka buruk, dan perkataan yang tidak baik. Pertemuan inilah yang memperkokoh barisan dalam, menjadikan “rajutannya” semakin kuat dan menyatu. Sedangkan, terhentinya pertemuan dan jauhnya jarak antara qiyadah dan jundi, akan melemahkan tsiqah ‘rasa percaya’, membuka banyak peluang negatif di dalam shaf ‘barisan’ dan yang paling berbahaya, mengakibatkan rapuhnya bangunan aqidah.

Muhammad Ibn Murad atau Muhammad Al-fatih mungkin contoh nyata yang masih cukup jelas dalam ingatan kita, bagaimana tarbiyah islamiyah ternyata mampu mengantarkan beliau untuk memenuhi bisyarah Rasulullah Saw untuk menaklukkan Konstantinopel kala itu. Asy-Syeikh Al-Kurani (Syamsudin) memberikan tarbiyah islam yang komprehensif. Dia mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti Al-Qur’an, hadits, fiqih, bahasa (Arab, Parsi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya. Dan inilah yang membuat Al-Fatih kecil menjadi sosok yang luar biasa kelak, dia disadarkan dengan sebuah tamparan saat dia berlaku tidak sopan terhadap murabbinya. Maka tamparan itu adalah sebuah nasihat berharga baginya, bukan memanjakan dengan membiarkan sikap tidak sopannya itu. Selain sebuah sistem tentu sosok murabbi yang visioner adalah sosok yang sangat berpengaruh besar terhadap tumbuh kembang sang mutarabi. Selama dalam masa tarbiyahnya Al-Fatih diyakinkan bahwa dia adalah orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam hadits pembukaan Kostantinopel oleh sosok murabbi visioner, Syamsudin. Dampak yang luar biasa dapat kita lihat saat penaklukan dan pasca penaklukkan, seluruh dataran eropa sangat menyegani "Sosok Penakluk" Konstantinopel.

Sekali lagi, ini adalah pekerjaan rumah yang tidak mudah tapi memiliki bukti nyata dalam keberhasilannya untuk menyiapkan generasi tanggu dan kuat, namun Rasulullah telah mencontohkan dan inilah saatnya kita meneladani proses tarbiyah yang Rasulullah terapkan kepada para sahabatnya. Pekerjaan rumah ini harus menjadi program jangka panjang yang harus dirintis mulai sekarang, karena "kondisi generasi hari ini, akan berdampak pada kondisi masa depan".

Wallahu a'lam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar