Periode kedua ini diawali sejak turunnya
firman Allah:
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa
yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik” (al-Hijr:
94).
Dan firman Allah :
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang dekat” (asy-Syu’ara:
214). “Dan
katakanlah, ‘Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan’” (al-Hijr:
89).
Mubarakfuri dalam kitabnya ar-Rahiqul Makhtum berkata, “Hal
pertama kali yang dilakukan Rasulullah setelah turunnya ayat, ‘Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang dekat‘, ialah mengumpulkan Bani Hasyim. Lalu
mereka berkumpul. Di antara mereka terdapat beberapa orang dari Bani Muthallib
bin Abdi Manaf. Seluruhnya berjumlah 45 orang pria. Dalam pertemuan ini, Abu
Lahab berkata, ‘Hai
Muhammad, mereka itu adalah para pamanmu, dan anak- anak dari pamanmu,
bicaralah dan jangan engkau main-main! Ketahuilah bahwa kaum kerabatmu tidak
mampunyai kekuasaan terhadap seluruh bangsa Arab. Aku berhak menentangmu,
cukuplah bagimu perlindungan dari sanak famili ayahmu! Jika engkau
terus-menerus berbuat seperti yang kau lakukan itu, mereka akan lebih mudah
menyerangmu daripada suku-suku kabilah Quraisy lainnya, dan pasti akan dibantu
oleh seluruh orang Arab. Sesungguhnya, aku tidak pernah melihat ada seorang
yang datang membawa bencana seperti yang engkau bawa itu.
Rasulullah saw. diam saja, dalam pertemuan
itu beliau tidak menjawab sepatah kata pun. Pada kesempatan lain beliau
mengundang mereka lagi untuk yang kedua kalinya. Dalam pertemuan ini beliau
berkata, “Segala
puji milik Allah, kepada-Nya kupanjatkan puji syukur dan kepada-Nya pula aku
mohon pertolongan. Kepada-Nya aku beriman dan kepada-Nya juga aku bertawakal.
Aku bersaksi bahwasanya tiada ilah selain Allah dan tiada sekutu apa pun
bagi-Nya.”
Setelah mengucapkan kata pembukaan itu,
beliau melanjutkan, ‘Seorang
utusan tidak akan membohongi keluarganya. Demi Allah yang tiada ilah selain Dia
bahwa aku adalah utusan Allah, khususnya kepada kalian dan kepada semua manusia
pada umumnya. Demi Allah, kalian pasti akan mati seperti di saat kalian tidur
dan kalian pasti akan dihidupkan kembali seperti saat kalian bangun tidur.
Terhadap kalian pasti akan diadakan perhitungan mengenai apa yang kalian
perbuat. Kemudian tidak ada tempat lain kecuali surga yang kekal
selama-lamanya, atau neraka yang kekal selama-lamanya...
Abu Thalib menyahut, ‘Dengan senang hati kami bersedia
membantumu, kami terima apa yang kau berikan sebagai nasihat, dan kami pun
mempercayai segala tutur katamu! Mereka yang sekarang berkumpul itu adalah
sanak famili ayahmu dan aku hanyalah seorang dari mereka… tetapi justru akulah
yang paling cepat menyambut keinginanmu. Demi Allah, aku akan tetap melindungi
dan membelamu, tetapi aku sendiri tidak dapat meninggalkan agama Abdul
Muthallib.’
Abu Lahab menyahut, ‘Demi Allah, itu sikap yang sangat
buruk! Cegahlah dia (Muhammad) sebelum orang-orang lain bertindak
ter-hadapnya.’ Abu Thalib menjawab, ‘Demi Allah, dia akan kami bela
selama kami hidup’.
Di Atas Bukit Shafa
Setelah yakin akan mendapat pembelaan dari
Abu Thalib, Rasulullah saw. pun pada suatu hari datang ke bukit Shafa kemudian
berseru, “Ya
shabaha!” Maka kabilah-kabilah Quraisy pun berdatangan memenuhi seruan.
Kepada mereka, Rasulullah saw. mengajak beriman kepada risalah yang dibawanya,
hari akhir, dan tauhidullah.
Bukhari meriwayatkan bagian dari kisah ini
dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Setelah turun ayat ‘..dan berilah peringatan kepada kaum
kerabatmu yang dekat’, Rasulullah saw. segera naik ke atas bukit Shafa kemudian
berseru, ‘Hai
Bani Adi dan suku-suku kabilah Quraisy yang lain,’ hingga mereka
itu berkumpul. Orang yang berhalangan datang, mengirimkan wakil untuk
menyaksikan sendiri apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Setelah Abu Lahab bersama beberapa orang
Quraisy lainnya datang, Rasulullah saw. bertanya :
“Jika kalian kuberitahu bahwa di lembah sana terdapat pasu-
kan berkuda hendak menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?” Mereka
menyahut, “Ya, kami belum pernah menyaksikan Anda berdusta.” Beliau kemudian
melanjutkan, “Sesungguhnya aku datang untuk memberi peringatan kepada kalian
bahwa di depan kalian terdapat siksa yang amat keras!” Mendengar itu Abu Lahab
berteriak, “Celakalah engkau selama- lamanya! Untuk itukah engkau mengumpulkan
kami?” Saat itu turunlah wahyu, “Celakalah kedua tangan Abu Lahab…. “
Seruan ini merupakan klimaks penyampaian
risalah. Kepada kaum kerabatnya, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa mempercayai
kebenaran risalahnya adalah jaminan bagi kelangsungan hubungan beliau dengan
mereka. Fanatisme kekabilahan atau kekerabatan yang berabad-abad dipertahankan
oleh orang-orang Arab, sejak saat itu mencair di bawah panasnya peringatan yang
datang dari sisi Allah.
Karakteristik
Periode Kedua
KARAKTERISTIK
PERTAMA: Da’wah
kepada Keluarga Dekat
Bibit-bibit da’wah pertama dalam periode
sirriyah terdapat di rumah Nabi saw. Sebab, orang-orang yang pertama masuk Islam,
setelah Rasulullah adalah istrinya, Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu
‘anha, mantan budaknya; Zaid bin Haritsah, serta anak pamannya; Ali bin Abi
Thalib. Ali tinggal bersama Nabi saw. dan ditanggung oleh beliau, demi
meringankan beban Abu Thalib yang harus menanggung banyak keluarga tetapi
miskin keadaannya, di samping untuk membalas jasa Abu Thalib yanr, telah
mengasuhnya semasa kecil. Anak-anak perempuannya, yaitu Zainab, Ruqayah, Ummu
Kaltsum, dan Fathimah. Rumah Nabi saw. seluruhnya sudah muslim.
Lantaran itu, manakala da’wah beralih pada
periode jahriyah mau tidak mau da’wah harus disampaikan kepada keluarga dekat,
yaitu Bani Hasyim dan Bani Muthallib serta memberitahukan persoalannya kepada
mereka. Ini merupakan Sunnah llahiyah.
Da’wah ini dilakukan dari keluarga yang
terdekat sampai kepada keluarga yang terbesar, yaitu ketika Rasulullah saw.
mengumumkannya di bukit Shafa di atas Mekah. Nabi saw. mengundang semua
keluarga sehingga para wakil Quraisy hadir semuanya. Nabi saw. mengajak mereka
kepada Islam dan kesiapan memberikan pembelaan. Tetapi, semuanya menolak,
khususnya setelah pamannya, Abu Lahab, mencela dan mengecamnya di hadapan
khalayak seraya berkata, “Celaka kamu, apakah untuk keperluan ini kamu kumpulkan
kami.”
Perintah al-Qur’an untuk melakukan da’wah
secara jahriyah telah cukup jelas sehingga tidak ada pilihan lain bagi
Rasulullah saw. kecuali harus melakukan da’wahnya secara terang-terangan,
betapa pun risiko yang beliau hadapi.
KARAKTERISTIK KEDUA: Berpaling dari Kaum Musyrikin
Berpaling dari kaum musyrikin berarti
mewujudkan dua pemikiran dalam waktu yang sama. Pertama, melakukan da’wah
dan menjelaskan rambu-rambunya tanpa menghiraukan kemarahan atau tanggapan para
musuhnya. Kedua, tidak membalas gangguan materi dan
ma’nawi yang mereka lancarkan atau upaya-upaya mereka untuk menghina Islam dan
kaum muslimin. Ini seperti diajarkan Allah di dalam firman-Nya :
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak
bermanfaat, mereka berpaling darinya dan mereka berkata; Bagi kami amal-amal
kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin
bergaul dengan orang-orang jahil’ (al-Qashash: 55).
“Dan hamba-hamba yang baik dari (Allah) Yang Maha Penyayang
itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan
apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang
baik” (al-Furqan: 63).
KARAKTERISTIK
KETIGA: Rambu-Rambu
Da’wah Baru
Garis besar dan asasi bagi agama baru ini
ialah: iman kepada Allah Yang Maha Esa, iman kepada Rasulullah saw., dan iman
kepada hari akhir. Itulah garis besar yang menjadi pusat perhatian selama
periode ini. Ia merupakan titik tolak da’wah yang utama dalam pengumuman yang
pertama bagi da’wah di dunia dan di dalam khutbah Nabi saw. yang ditujukan
kepada kaumnya.
“Segala puji bagi Allah, aku memuji-Nya, meminta pertolongan
kepada-Nya, beriman kepada-Nya, bertawakal kepada-Nya, dan bersaksi tiada ilah
kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya…. Sesungguhnya, pemimpin tidak akan
mendustai keluarganya, demi Allah yang tiada ilah kecuali Dia…”
Demikianlah garis besar da’wah pertama.
Sedangkan, garis yang kedua ialah,
“Sesungguhnya aku adalah rasul Allah kepada kalian pada
khususnya dan kepada manusia pada umumnya.”
Dan garis besar yang ketiga ialah,
“Demi Allah, kalian pasti akan mati sebagaimana kalian
tidur, kalian pasti akan dibangkitkan sebagaimana kalian bangun (tidur), kalian
pasti akan dihisab atas apa yang kalian amalkan. Sesungguhnya, ia adalah surga
selama-lamanya atau neraka selama-lamanya.”
KARAKTERISTIK KEEMPAT: Da’wah Secara Umum
Da’wah ini dimulai semenjak pertama kali
Rasulullah mengumumkan universalitas da’wah,
“Sesungguhnya aku adalah Rasulullah kepada kalian secara
khusus dan kepada umat manusia secara umum.”
Ia bukan risalah lokal yang terikat oleh tempat
atau waktu tertentu. Ia adalah risalah umat manusia secara umum. Oleh sebab
itu, di antara batu bata pertama da’wah ini adalah universalitas yang tertuang
dengan penegasan di atas. Suhaib; pelopor orang Romawi, dan Bilal; pelopor
orang-orang Habasyah, merupakan angkatan pertama mereka yang memeluk agama yang
tidak membedakan antara Arab dan ajam. Tidak ada perbedaan sedikit pun di
antara seorang kulit putih dengan kulit hitam kecuali dalam taqwa atau amal
shalih.
KARAKTERISTIK
KELIMA: Sirriyatu
at-Tanzhim
Untuk menjaga sirriyatu at-tanzhim
diperlukan pemilihan markas yang rahasia dan jauh dari pandangan mata. Di
tempat ini berlangsung pertemuan antar sesama junudud da’wah atau
antara junud dan qiyadah, tanpa diketahui
oleh aparat intelejen musuh.
Rosululloh memilih Darul Arqam (Rumah
al-Arqam bin Abil Arqam) sebagai markar tanzhim dengan berbagai pertimbangan
antara lain:
Pertama, karena al-Arqam
tidak diketahui keislamannya, sehingga tidak pernah terpikir oleh mereka bahwa
pertemuan Muhammad dan para sahabatnya berlangsung di rumahnya.
Kedua, karena al-Arqam
bin Abil Arqam berasal dari Bani Makhzum. Sedangkan, kabilah Bani Makhzum
adalah musuh bebuyutan Bani Hasyim. Kendatipun keislaman al-Arqam telah mereka
ketahui, namun tidak akan terpikir oleh mereka bahwa pertemuan itu berlangsung
di rumahnya. Sebab, hal ini berarti pertemuan ada di jantung barisan musuh.
Ketiga, karena al-Arqam
pada waktu masuk Islam masih muda, sekitar usia 16 tahun. Maka, tatkala Quraisy
mencari markas pengkaderan tersebut, tidak pernah terpikirkan oleh mereka untuk
mencarinya di rumah “anak-anak kecil” dari sahabat Muhammad saw. Pendeteksian
dan pencarian mereka tertuju ke rumah-rumah para sahabat yang sudah cukup usia
atau ke rumah Nabi sendiri.
KARAKTERISTIK
KEENAM: Al-Qur’an
Sumber Penerimaan
Ini merupakan hal yang paling diperlukan
oleh para da’i. Penerimaan al-Qur’an berlangsung di sana (Darul Arqam).
Manakala setiap muslim telah mendapatkan bekal beberapa ayat dari al-Qur’an,
Jibril turun kembali membawa ayat-ayat al-Qur’an ke dalam hati Muhammad saw.
Ayat-ayat ini cukup untuk mengkader dan melahirkan generasi Qur’an yang unik.
Generasi ini tidak menerima pelajaran selain dari wahyu al-Qur’an atau hadits
Rasul saw. Namun, wahyu ini telah sanggup merontokkan segala kotoran, ideologi,
dan nilai-nilai jahiliah yang melekat di dada mereka, digantikan oleh
nilai-nilai baru yang datang dari Allah, Penguasa alam semesta.
Pertemuan harian yang berlangsung secara
rutin di Darul Arqam telah berhasil mengubah realitas manusia. Jiwa-jiwa itu
berinteraksi dengan wahyu yang diturunkan sehingga menjadikannya sebagai
manusia baru yang berbeda sama sekali dari sebelumnya. Manusia baru karena
nilai, pemikiran, perasaan, rasa cinta, benci, cita-cita, keprihatinan, dan
kesibukannya sama sekali berbeda dengan sebelumnya.
Pada periode ini sang qiyadah dan murabbi (Nabi saw.)
senantiasa berusaha menjaga kesatuan dan keunikan sumber penerimaan (masdarut talaqqi), yaitu al-Qur’an.
Sebelumnya, generasi ini adalah ummi (tidak mengenal bacaan dan tulisan).
Generasi ini tidak pernah menerima ilmu-ilmu sekuler (tsaqafah basyariyah) yang
mencampur-adukkan yang haq dan yang batil. Ia jauh dari filsafat Yunani, ilmu
pengetahuan Romawi, atau hikmah Persia. Generasi ini hidup bahagia dengan wahyu
Allah semata, diterima langsung dari lisan Rasulullah saw.
KARAKTERISTIK
KETUJUH: Pertemuan
Rutin dan Kontinu
Pertemuan rutin di Darul Arqam mengikat
para jundi dengan qiyadah mereka, menumbuhkan rasa percaya (tsiqah) yang kuat
dikalangan para kader dan jundi, dan memperkuat tekad mereka untuk melanjutkan
perjalanan da’wah. Setiap sahabat yang datang ke Darul Arqam menceritakan
kepada ikhwah dan Nabinya tentang apa yang ia alami hari ini, tentang
perbincangan yang ia lakukan dan sanggahan-sanggahan yang dialaminya. Kemudian
imam para murabbi (Nabi saw.) memberikan taujih ‘pengarahan’ yang sesuai
dengannya, memuji sikapnya, meluruskan kesalahannya, atau memerintahkan agar
meninggalkannya
Sesungguhnya, pertemuan langsung yang
terus-menerus antara qiyadah dan para jundi ini akan memadamkan api fitnah,
membakar habis segala bentuk prasangka buruk, dan perkataan yang tidak baik.
Pertemuan inilah yang memperkokoh barisan dalam, menjadikan “rajutannya”
semakin kuat dan menyatu. Sedangkan, terhentinya pertemuan dan jauhnya jarak
antara qiyadah dan jundi, akan melemahkan tsiqah ‘rasa percaya’, membuka banyak
peluang negatif di dalam shaf ‘barisan’ dan yang paling berbahaya,
mengakibatkan rapuhnya bangunan aqidah.
KARAKTERISTIK
KEDELAPAN: Shalat
Secara Tersembunyi di Berbagai Lorong
Pada waktu itu, shalat diwajibkan pada
waktu pagi dan petang saja. Untuk shalat pagi kadang-kadang dilaksanakan oleh
kaum” muslimin di Ka’bah, sebelum banyak mata yang melihatnya. Biasanya Nabi
saw. keluar menuju Ka’bah pada permulaan siang untuk melaksanakan shalat Dhuha.
Pelaksanaan shalat ini tidak ditentang oleh Quraisy. Dan, apabila Nabi saw.
shalat di sepanjang hari setelah itu, Ali atau Zaid ra. duduk menyaksikannya.
Shalat harus dilaksanakan karena ia
menghubungkan antara manusia dan Penciptanya. Tidak ada kebaikan bagi agama
yang tidak memerintahkan shalat. Sabda Nabi saw., “Batas antara seorang hamba dan
kekafiran adalah meninggalkan shalat. “
KARAKTERISTIK
KESEMBILAN: Menekankan
Aspek Spiritual
Pada tahapan pembinaan, tidak ada sesuatu
yang lebih besar pengaruhnya dalam jiwa, selain daripada menekankan ibadah,
ketaatan, dan amalan-amalan sunnah. Ibadahlah yang akan menghubungkan hati
dengan Allah, meneguhkan jiwa dalam menghadapi segala penderitaan, lulus
menghadapi fitnah dan teguh di atas kebenaran. Ia adalah tahapan ibadah, tabattul, qiyamul lail...
KARAKTERISTIK
KESEPULUH: Membela
Diri dalam Keadaan Darurat
Tindakan membela diri atau menolak
kezaliman punya pengaruh positif dalam meningkatkan moralitas masyarakat,
terutama orang-orang yang menghargai dan mengagumi keksatriaan. Bahkan,
tindakan itu bisa jadi dorongan bagi mereka untuk bergabung ke dalam barisan
da’wah karena terpengaruh oleh sikap tersebut.
Namun, harus dicatat bahwa pembelaan diri
ini tidak boleh sama sekali bergeser menjadi balas dendam, permusuhan, atau
agitasi. Ia hanya terbatas sebagai tindakan menolak permusuhan terhadap hak-hak
asasi manusia biasa di setiap masyarakat, guna menjamin kebebasan melaksanakan
aqidah dan ibadah. Setiap orang yang meng- ganggu orang Islam dalam mendapatkan
hak asasi ini harus ditolak gangguannya.
KARAKTERISTIK
KESEBELAS: Sabar
Menanggung Siksaan dan Penindasan di Jalan Allah
Setiap kabilah telah melancarkan berbagai
penyiksaan terhadap putra-putra dan budak-budak mereka untuk memalingkan dan
menghalangi mereka dari jalan Allah.
Adalah Abu Jahal apabila mendengar seorang
mulia dan kaya masuk Islam, ia mengancam dengan kerugian harta dan penodaan
kehormatan. Dan, apabila yang masuk Islam itu orang lemah, ia memukul dan
menyiksanya. Sedangkan, paman dari Utsman bin Affan biasa menyiksa orang yang
masuk Islam dengan cara membungkus orang itu dengan tikar anyaman daun korma
kemudian membakarnya sampai kulitnya terkelupas seperti kulit ular. Ketika ibu
Mush’ab bin Umair mengetahui keislamannya, ia memutus biaya hidupnya dan
mengusir keluar dari rumahnya, padahal Mush’ab bin Umair sebelumnya bergelimang
kemewahan.
KARAKTERISTIK KEDUA
BELAS: Orang-Orang
Lemah Boleh Menampakkan “Kemurtadan”
Dari Sa’id bin Jubair, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada
Abdullah bin Abbas, ‘Apakah orang-orang musyrikin melancarkan siksaan kepada
para sahabat Rasulullah saw sampai siksaan itu membolehkan mereka untuk
‘meninggalkan agama mereka?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Ya, demi Allah. Sesungguhnya
orang-orang musyrik memukuli salah seorang mereka, setelah tidak diberi makan
dan minum, sampai tidak bisa duduk akibat siksaan itu dan (terpaksa) memberikan
apa yang mereka inginkan, yaitu fitnah. Sampai mereka berkata kepadanya, ‘Lata
dan Uzza adalah tuhanmu selain Allah?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Sampai ketika ada
kumbang melintas, mereka bertanya kepadanya, ‘Apakah kumbang ini tuhanmu selain
Allah?’ Ia menjawab, ‘Ya.
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman
(dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…’ (an-Nahl:
106).
KARAKTERISTIK
KETIGA BELAS: Usaha
Menyelamatkan Orang-Orang Lemah dengan Segala Sarana yang
Memungkinkan
Solidaritas sosial sesama anggota komunitas
Islam ini merupakan puncak persamaan manusia. Islam datang mengangkat martabat
dan kehormatan para budak, setelah sebelumnya mereka menjadi barang dagangan,
bahkan lebih rendah dari binatang. Dalam Islam mereka menemukan kemanusiaan
serta menjadi orang-orang yang memiliki aqidah dan fikrah. Dengan aqidah tumbuh
rasa ‘izzah mereka dalam menghadapi manusia. Karena aqidah, mereka siap melakukan
jihad serta menderita karenanya.
Tindakan Abu Bakar membeli para budak
kemudian memer- dekaannya, merupakan bukti keagungan agama ini dan sejauh mana
ia telah merasuki jiwa Abu Bakarradhiyallahu ‘anhu.
Sungguh gerakan Islam sekarang perlu
menghidupkan kembali realitas yang mulia dan perasaan yang luhur ini. Agar para
kader- kadernya hidup saling mendukung dan solider, sehingga setiap
muslim merasa sebagai anak dari keluarga ini. Keluarga ini dirasakannya lebih
besar dari ayah, ibu, saudara, dan suaminya. Apa yang kita saksikan sekarang
berupa sikap saling menunjang dan rasa senasib sepenanggungan antara para
aktivis Islam atau mujahidin dan orang-orang yang berkecimpung dalam gerakan
Islam; menanggung para janda, orang-orang yang terlantar, para istri orang-orang
yang dipenjarakan dan keluarga mereka, sungguh telah mengingatkan kita kepada
gambaran masyarakat Islam yang pertama. Perhiasan emas dan harta yang
dikorbankan para wanita muslimah untuk membantu saudara-saudara mereka yang
tertindas, merupakan bukti nyata akan ke- agungan agama ini. Agama yang
menjadikan para pemeluknya dalam satu keluarga, apabila salah seorang
anggotanya sakit maka semuanya ikut merasakannya.
Dikutip dari buku “Manhaj Haraki : Startegi
Pergerakan dan Perjuangan Politik Dalam Sirah Nabi SAW ” Jilid-1 , Syekh
Munir Muhammad al-Ghadban”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar