DONNY
SYOFYAN
(Dosen
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
betul-betul menjadi balon dalam lanskap perpolitikan Tanah Air dewasa ini.
Makin ditekan dan dipojokkan justru PKS makin kuat, solid, dan terbang dengan
kekuatannya. Layaknya karet, semakin partai ini ditekan semakin kuat dorongan
untuk memantul. Pasca ditetapkannya Luthfi Hasan Ishaq (LHI), mantan Presiden
PKS sebagai tersangka KPK, PKS justru mendulang kemenangan dalam sejumlah
pilkada.
Dalam pilkada Jawa Barat dan Sumatera
Utara jago PKS yang ikut bertanding memenangi pertempuran. Hingga saat ini,
segenap komentar, prediksi, atau hujatan publik dan media terhadap PKS menjadi
terjun bebas (fall free).
Bagi kalangan internal PKS sendiri,
kemenangan dalam dua pilkada tersebut telah mewujud sebagai tambahan darah
segar bagi perjuangan mereka untuk membalikkan serangan yang membabi buta,
argumen-argumen kasar dan keterlaluan yang secara terus-menerus menghajar
partai dakwah tersebut.
Boleh saja banyak pihak berdalih bahwa
kemenangan dua pilkada tersebut sepenuhnya bukanlah kemenangan PKS. Ada yang
menganggap bahwa kemenangan dua pilkada itu adalah kemenangan kolektif
sejumlah partai karena pasangan yang diusung adalah kolaborasi beberapa
partai. Pihak lain juga menilai bahwa kemenangan pada dua pilkada tersebut
sejatinya adalah kemenangan golput. Jumlah golput di Jabar dan Sumut dikabarkan
sekitar lima puluh persen dari totalitas pemilih. Analisa demikian tentu
sah-sah saja meskipun dalam banyak hal mulai terlihat galau dan tidak rancak
dalam mengakui sebuah objektivitas.
Hanya saja, menyalahkan kemenangan PKS
dalam dua pilkada di atas sebagai kebangunan golput juga sesuatu yang juga
berlebihan. Mereka yang tidak memilih bisa jadi memiliki banyak alasan yang
berbeda. Ada yang tidak memilih karena menganggap berdemokrasi itu haram. Ada
pula yang tidak memilih karena sedang dirawat di rumah sakit. Ada yang mendapat
musibah pada hari pencoblosan, sehingga tidak bisa memilih.
Ada yang sudah bersikap apatis kepada
semua parpol, ada yang tidak apatis pada parpol, namun tidak menemukan satu
kandidat pun yang dianggapnya cocok untuk dipilih. Mungkin ada juga yang
dulunya habis-habisan mendukung kandidat tertentu, namun apa dinyana kandidat
yang didukungnya tidak diloloskan oleh KPU. Karena itu, ia memutuskan untuk
tidak memilih saja. Ada juga yang secara kebetulan sudah memiliki agenda lain
yang sudah dipastikan sejak jauh-jauh hari, dan kebetulan agenda itu jatuh pada
hari pencoblosan, sehingga ia tidak bisa memilih.
Hemat saya, kemenangan PKS pada pilkada
Jawa Barat dan Sumatera Utara sesungguhnya merupakan cermin survivalitas—daya
untuk tetap bertahan PKS—terhadap tekanan dari segenap penjuru mata angin yang
berdiri kokoh pada tiga kekuatan utama.
Pertama, soliditas kader. Kekuatan utama
PKS, bahkan sejak masih Partai Keadilan (PK), terletak pada sistem
kaderisasinya yang terbangun kuat lewat proses tarbiyah (pembinaan) secara
ketat dan gradual. Sarana tarbiyah bukanlah sekadar alat homogenisasi atau
uniformitas pemikiran dan derap langkah yang berujung pada proses cuci otak
alias indoktrinisasi yang selama ini kerap dituduhkan banyak pihak, melainkan
sebagai wasilah pemberian gizi jiwa yang melahirkan kader-kader PKS yang
militan dan terdidik.
Terpaan media yang secara terus menerus
menggerus citra PKS dalam banyak kasus tanpa menyisakan sedikit ruang pun bagi
politisi PKS untuk membela diri dan menyajikan pandangan alternatif tidak
membangun tren kutu loncat besar-besaran bagi kader PKS untuk meninggalkan
kendaraan politiknya. Padahal kesempatan ini sangat memungkinkan dan memiliki
basis rasionalitas dan legitimasi yang kuat bagi kader partai untuk pindah
haluan.
Militansi kader berbasis tarbiyah demikian
membuat serangan ‘jurnalisme su’uzhan’ balik kanan seperti melempar bola ke
tembok. Inilah yang membuat kader PKS memiliki daya tahan terhadap pemberitaan
yang tak berimbang, daya tangkal terhadap tekanan isolasi sosial, maupun daya
seleksi tarik menarik opini publik yang dalam banyak hal cenderung mengikuti
arus agenda setting kebanyakan media massa. Kader PKS sadar betul bahwa media
massa bukanlah sarana tarbiyah.
Kedua, manajemen isu yang luar biasa.
Banyak yang meyakini bahwa penahanan LHI oleh KPK menjadi awal rontoknya PKS
bukan saja disebabkan dekatnya pemilu legislatif dan Pilpres 2014 tapi juga
agenda pilkada yang bakal berserakan di banyak daerah. Namun PKS dengan sigap
membangun kuda-kuda untuk bertahan menyahut keniscayaan ancaman dengan
mengganti pucuk pimpinan, yakni Anis Matta sebagai Presiden PKS yang baru.
Transformasi kepemimpinan ini memberikan
efek ganda—defensif untuk menjaga keutuhan kader sebagai modal politik primer
dari tsunami politik dan ekspansif untuk mengonsolidasikan kader-kader terbaik
partai guna menghadapi sejumlah pesta demokrasi di daerah. Anis Matta,
setidaknya hingga saat ini, sukses menjalankan strategi ‘kusir bendi’ dalam
menggerakkan mesin politik PKS; seorang kusir lazimnya mengobrol dengan penumpangnya
sambil mengendarai kudanya. Artinya, PKS di bawah kepemimpinan Anis Matta tetap
berjalan fokus ke depan seraya pada saat yang sama dengan cerdas melakukan
counter sana sini terhadap sinisme elit dan pengamat lewat kerja-kerja nyata.
Alih-alih menghabiskan energi dengan teori
konspirasi yang sempat membuat PKS berjalan di tempat, Anis membawa PKS
menjalani ‘quantum leap’ dengan mengalihkan energi kader kepada pilkada
sebagai target terdekat.
Ketiga, kepemimpinan kolektif yang
konsisten. Sungguhpun Anis Matta dianggap kontributif mendongkak elektabilitas
partai dengan kapabilitas yang dimilikinya—orator, kemampuan manajerial,
penulis, dan ahli lobi—kebangunan PKS lebih terletak kepada kualifikasi kepemiminan
jamaah, yakni majelis syura.
Kolektivitas kepemimpinan ini semakin
mengukuhkan PKS sebagai partai kader yang tidak terperangkap pada figuritas
kepemimpinan, semisal Partai Demokrat atau PDI-P. Tak kalah krusialnya,
kolektivitas kepemimpinan tersebut fungsional mencegah terjadinya kecenderungan
saling menyalahkan atau mencari kambing hitam (blame game) di antara elit atau
kader PKS. Akhirnya harus diakui bahwa kepemimpinan kolektif menjadikan fungsi
kontrol dan terobosan-terobosan progresif dari mesin politik dalam tubuh PKS
melaju dengan kecepatan maksimum. (*)
Dimuat di Harian Haluan (Jumat 22 Maret 2013)
Sumber: http://www.pkspiyungan.org/2013/03/survivalitas-pks.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar