Jumat, 22 Maret 2013

Survivalitas PKS


DONNY SYOFYAN
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)

Partai Keadilan Se­jah­tera (PKS) betul-betul menjadi balon dalam lanskap per­politikan Tanah Air dewasa ini. Makin ditekan dan dipo­jokkan justru PKS makin kuat, solid, dan terbang dengan kekuatannya. Layaknya karet, semakin partai ini ditekan semakin kuat dorongan untuk memantul. Pasca ditetap­kannya Luthfi Hasan Ishaq (LHI), mantan Presiden PKS sebagai tersangka KPK, PKS justru mendulang kemenangan dalam sejumlah pilkada.

Dalam pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara jago PKS yang ikut bertanding meme­nangi pertempuran. Hingga saat ini, segenap komentar, prediksi, atau hujatan publik dan media terhadap PKS menjadi terjun bebas (fall free).
Bagi kalangan internal PKS sendiri, kemenangan dalam dua pilkada tersebut telah mewujud sebagai tam­bahan darah segar bagi per­juangan mereka untuk mem­balikkan serangan yang mem­babi buta, argumen-argumen  kasar dan keterlaluan yang secara terus-menerus meng­hajar partai dakwah tersebut.

Boleh saja banyak pihak berdalih bahwa kemenangan dua pilkada tersebut sepenuh­nya bukanlah kemenangan PKS. Ada yang menganggap bahwa kemenangan dua pilka­da itu adalah kemenangan kolektif sejumlah partai kare­na pasangan yang diusung adalah kolaborasi beberapa partai. Pihak lain juga menilai bahwa kemenangan pada dua pilkada tersebut sejatinya adalah kemenangan golput. Jumlah golput di Jabar dan Sumut dikabarkan sekitar lima puluh persen dari tota­litas pemilih. Analisa de­mikian tentu sah-sah saja meskipun dalam banyak hal mulai terlihat galau dan tidak rancak dalam mengakui se­buah objektivitas.

Hanya saja, menyalahkan kemenangan PKS dalam dua pilkada di atas sebagai keba­ngunan golput juga sesuatu yang juga berlebihan. Mereka yang tidak memilih bisa jadi memiliki banyak alasan yang berbeda. Ada yang tidak memilih karena menganggap berdemokrasi itu haram. Ada pula yang tidak memilih karena sedang dirawat di rumah sakit. Ada yang men­dapat musibah pada hari pencoblosan, sehingga tidak bisa memilih.

Ada yang sudah bersikap apatis kepada semua parpol, ada yang tidak apatis pada parpol, namun tidak mene­mukan satu kandidat pun yang dianggapnya cocok untuk dipilih. Mungkin ada juga yang dulunya habis-habisan men­dukung kandidat tertentu, namun apa dinyana kandidat yang didukungnya tidak dilo­loskan oleh KPU. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak memilih saja. Ada juga yang secara kebetulan sudah me­miliki agenda lain yang sudah dipastikan sejak jauh-jauh hari, dan kebetulan agenda itu jatuh pada hari pen­coblosan, sehingga ia tidak bisa memilih.

Hemat saya, kemenangan PKS pada pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara sesung­guhnya merupakan cermin survivalitas—daya untuk tetap bertahan PKS—terha­dap tekanan dari segenap penjuru mata angin yang berdiri kokoh pada tiga ke­kuatan utama.

Pertama, soliditas kader. Kekuatan utama PKS, bahkan sejak masih Partai Keadilan (PK), terletak pada sistem kaderisasinya yang terbangun kuat lewat proses tarbiyah (pembinaan) secara ketat dan gradual. Sarana tarbiyah bukanlah sekadar alat homo­genisasi atau uniformitas pemikiran dan derap langkah yang berujung pada proses cuci otak alias indoktrinisasi yang selama ini kerap dituduhkan banyak pihak, melainkan sebagai wasilah pemberian gizi jiwa yang melahirkan kader-kader PKS yang militan dan terdidik.

Terpaan media yang secara terus menerus menggerus citra PKS dalam banyak kasus tanpa menyisakan sedikit ruang pun bagi politisi PKS untuk membela diri dan menyajikan pandangan alter­natif tidak membangun tren kutu loncat besar-besaran bagi kader PKS untuk mening­galkan kendaraan politiknya. Padahal kesempatan ini sa­ngat memungkinkan dan memiliki basis rasionalitas dan legitimasi yang kuat bagi kader partai untuk pindah haluan.

Militansi kader berbasis tarbiyah demikian membuat serangan ‘jurnalisme su’uzhan’ balik kanan seperti melempar bola ke tembok. Inilah yang membuat kader PKS memiliki daya tahan terhadap pem­beritaan yang tak berimbang, daya tangkal terhadap teka­nan isolasi sosial, maupun daya seleksi tarik menarik opini publik yang dalam banyak hal cenderung mengi­kuti arus agenda setting ke­banyakan media massa. Kader PKS sadar betul bahwa media massa bukanlah sarana tar­biyah.

Kedua, manajemen isu yang luar biasa. Banyak yang meyakini bahwa penahanan LHI oleh KPK menjadi awal rontoknya PKS bukan saja disebabkan dekatnya pemilu legislatif dan Pilpres 2014 tapi juga agenda pilkada yang bakal berserakan di banyak daerah. Namun PKS dengan sigap membangun kuda-kuda untuk bertahan menyahut keniscayaan ancaman dengan mengganti pucuk pimpinan, yakni Anis Matta sebagai Presiden PKS yang baru.

Transformasi kepe­mim­pinan ini memberikan efek ganda—defensif untuk men­jaga keutuhan kader sebagai modal politik primer dari tsunami politik dan ekspansif untuk mengonsolidasikan kader-kader terbaik partai guna menghadapi sejumlah pesta demokrasi di daerah. Anis Matta, setidaknya hing­ga saat ini, sukses menjalankan strategi ‘kusir bendi’ dalam menggerakkan mesin politik PKS; seorang kusir lazimnya mengobrol dengan penum­pangnya sambil mengendarai kudanya. Artinya, PKS di bawah kepemimpinan Anis Matta tetap berjalan fokus ke depan seraya pada saat yang sama dengan cerdas melakukan counter sana sini terhadap sinisme elit dan pengamat lewat kerja-kerja nyata.

Alih-alih menghabiskan energi dengan teori konspirasi yang sempat membuat PKS berjalan di tempat, Anis membawa PKS menjalani ‘quantum leap’ dengan meng­alihkan energi kader kepada pilkada sebagai target ter­dekat.

Ketiga, kepemimpinan kolektif yang konsisten. Sung­guhpun Anis Matta dianggap kontributif mendongkak elek­tabilitas partai dengan kapa­bilitas yang dimilikinya—orator, kemampuan mana­jerial, penulis, dan ahli lobi—kebangunan PKS lebih terle­tak kepada kualifikasi kepe­miminan jamaah, yakni ma­jelis syura.

Kolektivitas kepemim­pinan ini semakin mengu­kuhkan PKS sebagai partai kader yang tidak terperangkap pada figuritas kepemimpinan, semisal Partai Demokrat atau PDI-P. Tak kalah krusialnya, kolektivitas kepemimpinan tersebut fungsional mencegah terjadinya kecenderungan saling menyalahkan atau mencari kambing hitam (bla­me game) di antara elit atau kader PKS. Akhirnya harus diakui bahwa kepemimpinan kolektif menjadikan fungsi kontrol dan terobosan-tero­bosan progresif dari mesin politik dalam tubuh PKS melaju dengan kecepatan maksimum.  (*)

Dimuat di Harian Haluan (Jumat 22 Maret 2013)
Sumber: http://www.pkspiyungan.org/2013/03/survivalitas-pks.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar