Senin, 01 April 2013

Belajar dari Pengangkatan Umar bin Abdul Aziz


Dilema Sulaiman. Mungkin kata tersebut yang cocok menggambarkan suasana hati Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik yang sedang sakit di akhir kepemimpinannya. Di masa-masa terakhir sebelum maut menjemputnya ia ditemani oleh Raja’ bin Haiwah Al Kindi. Banyak riwayat yang mengisahkan pengangkatan Umar bin Abdul Aziz, salah satunya disebutkan oleh Ibnu Sa’ad dalam thaqabat-nya dari Suhail bin Abi Suhail. Dikisahkan bahwa Khalifah Sulaiman hendak melaksanakan sholat Jumat di masjid tetapi tiba-tiba beliau merasa tidak enak badan. Ternyata sakitnya bertambah parah, beliau pun menulis surat pengangkatan anaknya Ayyub yang kelak akan menggantikannya padahal Ayyub masih kecil dan belum balig. Dengan tegas Raja’ bin Haiwah Al Kindi menasehatinya “Sesungguhnya hal yang dapat menjaga khalifah di dalam kuburnya adalah mengangkat seorang yang shaleh sebagai penggantinya”. Lalu Sulaiman berkata “Ini sebuah keputusan yang aku masih meminta petunjuk kepada Allah”. Setelah dua hari berlalu Sulaiman merobek surat tersebut dan sesegera mungkin memanggil Raja’. Sulaiman berniat terhadap Daud bin Sulaiman dan selanjutnya Raja’ berpendapat bahwa Daud tidak ada di sini, dia di Konstantinopel dan tidak diketahui keberadaannya apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia. 

Kondisi Sulaiman semakin bertambah dilematis. Disaat sakitnya semakin parah ia juga harus menentukan khalifah yang akan meneruskan penegakkan kalimatullah di muka bumi dan mengatur roda pemerintahan umat. Sulaiman kemudian meminta pendapat Raja’ kembali tentang siapa yang pantas. Raja’ pun membalikkan pertanyaan tersebut kepada Sulaiman. Sulaiman berpikir dan diam sejenak. “Bagaimana dengan Umar bin Abdul Aziz?”, tanya Sulaiman. “Sepengetahuanku, Demi Allah, dia adalah seorang yang mulia, baik dan muslim sejati”, jawab Raja’. Kemudian Sulaiman berkata lagi, “ Dia akan terus seperti itu, demi Allah, jika aku memilihnya”. Namun, kini dilema itu muncul lagi. Sulaiman memprediksi bahwa akan timbul fitnah apabila ia tidak mengangkat salah seorang keturunan Abdul Malik. Oleh karenanya dalam surat putusan yang dibuatnya, ia mengangkat Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah dan mengangkat Yazid bin Abdul Malik sebagai khalifah setelah Umar bin Abdul Aziz. Setidaknya putusan ini akan menenangkan keluarga Abdul Malik. Abdul Malik bin Marwan adalah paman dari Umar. Sejak ayahnya Abdul Aziz bin Marwan meninggal, Umar diasuh oleh Abdul Malik. Abdul Malik sangat menyayanginya lebih dari anaknya sendiri. Bahkan Umar dinikahkan dengan Fathimah binti Abdul Malik, putrinya yang sholihah dan wanita yang sangat taat terhadap suaminya serta senantiasa mendukungnya. Jadi, sebenarnya Umar sudah hidup di lingkungan keluarga Abdul Malik sejak kecil, akan tetapi tidak semua keturunan Abdul Malik mencintai Umar layaknya kecintaan Abdul Malik kepada Umar.

Raja’ setuju dengan putusan yang dibuat oleh Sulaiman. Dengan segera Sulaiman menulis sendiri surat putusan dengan tangannya. Dalam suratnya ia meminta semua anggota keluarga mendengarkan dan mentaati serta bertakwa kepada Allah swt. Ia juga menasehatkan agar jangan berpecah-belah karena musuh akan mudah menundukkan orang yang berpecah-belah. Tak lupa ia juga men-cap surat keputusan itu sebagai bukti legalitasnya. Ringkas cerita, seluruh keluarga Abdul Malik sudah berkumpul. Sulaiman masih berada di dalam kamar bersama Raja’, sementara keluarga yang lain menunggu di luar. Sulaiman berpesan kepada Raja’ untuk membawa surat keputusan itu kepada mereka (keluarga Abdul Malik-red) dan berjanji untuk memba’iat orang yang dipilih Sulaiman yang tertera dalam surat putusan tersebut. Raja’ segera melaksanakan perintah tersebut dan memberitahukan apa yang diperintahkan Sulaiman. Mereka meminta ijin untuk menemui Amirul Mukminin, setelah bertemu, Amirul Mukminin Sulaiman menunjuk surat yang dibawa oleh Raja’ seraya mengatakan, “Surat keputusan itu adalah keputusanku, maka taati dan bai’atlah orang yang ada dalam surat keputusan itu”. Kemudian mereka serempak berjanji akan membai’atnya.

Sementara itu, Raja’ berkata bahwa Umar menemuinya. Umar cukup dekat dengan Sulaiman dan khawatir apabila Sulaiman memilihnya sebagai khalifah penggantinya. Umar meminta Raja’ memberitahukan kepadanya sehingga apabila benar nama Umar yang terpilih ia bisa cepat-cepat meminta dibatalkanmumpung Sulaiman masih hidup. Namun, Raja’ tidak mau memberitahu barang satu huruf pun sehingga Umar pergi dengan perasaan marah. Umar menyadari bahwa menghentikan dan mencegah kezhaliman itu dapat dilakukan oleh seorang pemimpin. Kesempatan untuk melakukan perbaikan juga akan terbuka lebar. Oleh karenanya secara bertahap dulu ia mengingatkan pemimpin untuk selalu mencegah kezhaliman mulai dari masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, masa Walid bin Abdul Malik dan masa Sulaiman bin Abdul Malik. Akan tetapi, tiba-tiba ia menjadi sosok yang tidak siap apabila harus diserahi perkara kepemimpinan ini, terlebih lagi menjadi seorang khalifah.

Raja’ berkata lagi, kemudian yang mendatanginya setelah Umar adalah Hisyam bin Abdul Malik. Pertanyaannya pun sama dengan Umar, ia ingin tau lebih awal siapa khalifah terpilih. Hisyam merasa ia adalah orang yang paling pantas menggantikan Sulaiman. Jadi, apabila yang ada dalam surat keputusan itu bukan namanya, ia akan segera menemui Sulaiman dan memintanya mengganti atas nama dirinya. Sebuah dinamika yang sangat unik dan patut kita ambil ibrohnya. Raja’ tidak mau juga memberitahukan kepada Hisyam, sehingga membuatnya kesal sambil memukulkan satu tangannya ke tangan yang lain. Raja’ kembali masuk menemui Sulaiman dan ternyata ia sedang menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Raja’ memalingkan wajah Sulaiman ke arah kiblat, dan Sulaiman menolaknya. Keduakalinya juga Sulaiman menolaknya sampai yang ketiga Sulaiman memperbolehkan Raja’ memalingkan wajahnya kearah kiblat, Sulaiman pun bersyahadat dan menghembuskan nafasnya yang terakhir. Kemudian Raja’ memejamkan mata Sulaiman dan menutupi jasadnya dengan kain berwarna hijau. Setelah itu, ia menutup pintu kamar tersebut. Belum ada yang mengetahui saat itu Sulaiman sudah tiada, istrinya hanya mengira sang suami sedang tertidur. Raja’ menempatkan orang untuk menjaga pintu kamar Sulaiman agar tidak ada seorangpun masuk sampai ia kembali.

Raja’ kemudian menyampaikan amanat dari Sulaiman padanya untuk disampaikan kepada seluruh anggota keluarga Sulaiman bin Abdul Malik tadi. “Berjanjilah kalian untuk memba’iat”, kata Raja’. Mereka menjawab, “ Kami sudah berjanji membai’at, lalu kami harus berjanji memba’iat lagi!”. Raja’ berkata,” Ini perintah Amirul Mukminin. Dan untuk kedua kalinya mereka berjanji untuk memba’iat satu persatu. Setelah Raja’ merasa telah menguasai keadaan ia lalu memberitahukan bahwa Sulaiman sudah wafat. “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Kemudian Raja’ membacakan surat keputusan dan tiba pada penyebutan nama Umar bin Abdul Aziz, Hisyam berseru “Kami tidak akan membai’atnya selama-lamanya”. Raja’ pun membalas, “Akan aku pancung, demi Allah, lehermu. Berdiri kamu dan berjanjilah akan memba’iat”. Akhirnya Hisyam pun berdiri dan berjanji.

Raja’ memegang kedua lengan Umar dan mendudukkannya di atas mimbar. Wajahnya datar, masih belum percaya dengan hasil putusan dan mengucap Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun atas keadaan yang dialaminya, karena sejatinya ia memang tidak menginginkan jabatan tersebut. Ia amat takut kepada Allah, apalagi kalau sampai berlaku zhalim. Tapi apa mau dikata, keputusan sudah dibuat keluarga pun sudah berba’iat. Hisyam pun berucap Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun karena bukan dirinya yang terpilih sebagai khalifah. Ketika tiba giliran Hisyam untuk membai’at Umar, dia berkata Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun kenapa perkara ini diserahkan kepadamu bukan kepada anak Abdul Malik. Maka Umar menjawab,  “benar. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun ketika perkara ini diserahkan kepadaku, karena aku tidak menyukainya”.

Begitulah ceritanya, sekaliber Umar bin Abdul Aziz saja tidak menyukai terhadap perkara kepemimpinan yang diberikan kepadanya. Ketidaksukaannya itu karena ia tahu menjalaninya bukan sesuatu yang mudah. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah kepemimpinannya. Dalam pidato pertamanya, ia masih belum siap dan belum suka dengan amanah yang sekarang diembannya. Berkata Umar kepada rakyatnya di atas mimbar, “ Wahai manusia, sesungguhnya aku diuji dengan jabatan yang tanpa pernah aku terpikirkan aku akan memikulnya, apalagi memintanya dan tanpa berdasarkan musyawarah kaum muslimin. Sesungguhnya, aku membebaskan kalian untuk membai’at siapa saja. Oleh karena itu, pilihlah orang yang pantas menurut kalian”. Rakyat serempak berkata, “ Sungguh kami memilih engkau, wahai Amirul Mukminin dan kami setuju dengan engkau. Oleh karena itu, pimpinlah kami dengan adil dan baik”. Seketika itu Umar merasa ia tidak dapat mengelak dan menghindar lagi. Dengan segera ia memantapkan hatinya dan memaparkan metode dan caranya dalam memimpin umat. Di depan matanya sekarang yang ada hanyalah banyangan umat yang menanti perbaikan. Ia harus segera merancang strategi-strategi perbaikan dan melakukan aksi nyata untuk perbaikan umat. Belajar kepada Umar yakni belajar tentang ketaatan.
Ketika mutiara menjadi perhiasan bagi wajah,Namun justru wajahmu menjadi perhiasan bagi mutiara.#Syair untuk Umar bin Abdul Aziz
Itulah Umar, sosok yang sangat terkenal senang mencegah kezhaliman dan kesewenang-wenangan serta gencar  menciptakan perbaikan dan keadilan. Ia sangat takut sekali kepada Allah swt, itulah yang menjadikannya sangat agresif melakukan kerja-kerja pemberantasan kezhaliman yang terjadi terutama dikalangan khalifah dan gubernur-gubernur. Ia manusia biasa layaknya kita semua. Bedanya dengan kita, ia bertumbuh di lingkungan kota Madinah dan berperilaku layaknya penduduk kota ini. Sikapnya penuh dengan kesopanan dan tekun dalam menuntut ilmu dari para syaikh di Madinah. Ia justru lebih sering duduk bersama sesepuh Quraisy dibandingakan dengan pemuda seumurannya. Umar kecil sangat senang terhadap ilmu dan gemar membaca. Ia juga kerap hadir dalam diskusi para ulama dan suka berada dalam majelis ilmu di Madinah. Kesukaan terhadap sastra juga menjadi kekhasan tersendiri yang membentuk pribadinya. Sejak usia dini, ia sudah bisa menghafalkan Al Qur’an. Hal ini didukung oleh kebersihan jiwanya, kemampuan yang amat besar dalam menghafal dan kesediaannya secara penuh untuk menuntut ilmu dan menghafal. Meskipun perbedaan kita jauh dengannya, kita masih diberi kesempatan untuk mengetahui kisahnya. Sehingga kita dapat mengambil ibroh dan menjadikannya sebagai salah satu teladan. Begitulah Umar, meskipun di awal ia sempat merasa berat dengan perkara kepemimpinan yang diberikan kepadanya, tapi kita tahu bahwa sejarah telah mencatatkan bahwa Umar berhasil memberikan hasil akhir yang baik dalam perjalanan hidupnya, terutama saat ia menjadi seorang khalifah. Lantas bagaimana dengan kita ??? Semoga jalan yang kita pilih juga demikian. Aamin J
Wallohua’lam

tulisan ini bersumber dari buku Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Pembaharu dari Bani Umayyah karangan Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi
Bening Nurmaningsih di semburat cahaya mentari pagi, 12 Maret 2013 sebagai kado milad bagi adikku Rifki Darwanto dan kado terbaik bagi saudara-saudaraku seperjuangan di region Allah swt –Yogyakarta--

Sumber: FB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar