Beberapa hari setelah deklarasi pencalonan
Ahmad Heryawan dan Deddy Mizwar sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa
Barat dari koalisi PKS, PBB, Partai Hanura, dan PPP pada Pilgub 2013 saya
terkaget dengan sebuah selebaran yang bertajuk “Kalem We da Aya
#Ayobalikkekampus! H2S Hari-hari Sastra.”
Pasalnya
selebaran yang dibagikan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Unpad tersebut
adalah undangan untuk mengikuti KURUCETRA “Kumpul Rutin Cerita Sastra” yang
membedah film “Tanah Surga Katanya” bersama Deddy Mizwar.
Sebagai
mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya yang (hanya baru) melek politik, saya berpikir
acara ini akan menjadi ajang kampanye buat Deddy Mizwar. Namun, setelah
mengikuti acara tersebut ada ruh lain yang saya dapat.
Ya! Ruang-ruang diskusi sastra adalah tempat
bisu untuk para praktisi politik. Di sana mereka tidak dapat berkampanye secara
vulgar. Sastra adalah tempat insan-insannya menjual gagasan. Takada ruang
istimewa bagi yang bertangan kosong dalam sastra. Siapapun menjual ideologi
dalam karyanya. Pramoedya Ananta Toer dengan sosialismenya, Ayu Utami dengan
feminismenya, atau M. Irfan Hidayatullah dengan Islamnya, mereka dengan penuh
kesadaran membawa ideologi dalam karya-karyanya. Orang-orang yang bertangan
kosong hanya akan berada di pinggiran dengan karya absurd yang
tanpa sadar mendukung ideologi mainstream. Takada karya tanpa gagasan yang
dijual dalam sastra.
Berbicara
film berarti berbicara isi cerita. Membaca isi cerita berarti membaca gagasan
yang ditawarkan oleh seorang seniman. Begitupun pada film “Tanah
Surga Katanya..” yang diproduseri oleh Deddy Mizwar.
Film
ini menceritakan perjalanan panjang seorang Salman mengeja kecintaan terhadap
bangsanya. Ia dihadapkan dengan situasi-situasi antagonis yang memaksanya untuk
mencari penghidupan di Malaysia. Ayahnya menikah dengan perempuan malaysia agar
lebih mudah menjadi warga negara sana. Ia diajak ikut pindah dan menjadi warga
negara malaysia. Di sisi lain, kakeknya adalah mantan relawan Konfrontasi
Indonesia Malaysia tahun 1965. Kakeknya tentu takmengizinkan Salman pindah
kewarganegaraan. Sesederhana apapun kehidupan di Perbatasan Indonesia-Malaysia
itu, kakeknya tetap lebih memilih hidup di negeri sendiri ketimbang di negeri
orang.
“Perjalanan
cinta Salman pada negaranya ini mengajari kita soal anugerah terindah dalam
mencintai,” kata Deddy Mizwar. “Cintailah manusia tanpa harus mengingkari
kebenaran,” tambahnya.
Film
ini mengajari kita soal banyak cara yang bisa dilakukan untuk menghargai negara
ini. Di Malaysia bendera Indonesia hanya dijadikan alas dagangan rempah-rempah.
Ia taklebih dari warna merah dan putih yang tak berbeda dengan
warna kuning, hijau, dan coklat. Adegan ini jadi simbol bahwa pihak yang
menjual Sumber Daya Alam Indonesia ke luar negeri hanya menjadikan negara
sebagai alas dagangannya untuk memperkaya diri. Salman sampai harus bersiasat
untuk mengambil bendera itu dari orang yang menjadikannya sebagai alas. Ia menukarnya
dengan sebuah sarung dan mengibarkannya sambil berlari ke Indonesia. Dalam
adegan itu sangat terlihat perbedaan jalan Indonesia – Malaysia. Jalan di
Malaysia lebih bagus daripada jalan di Indonesia. “Namun, sejelek apapun,
itulah kebenarannya. Saya tidak mungkin membagus-baguskan negara kita dalam
film itu. Nanti saya bohong!” ujar Deddy Mizwar. “Kalau dalam sepakbola
Indonesia dikalahkan Malaysia, saya juga tidak mungkin menceritakan Indonesia
menang dalam film ini, nanti saya bohong lagi. Citra visual dalam film adalah
refleksi realitas yang ada di Indonesia.” Tambahnya.
Pesan
dalam film ini terrangkum dalam puisi Salman ketika menyambut pejabat pemerintah
dari Jakarta:
Tanah Surga Katanya
Bukan lautan hanya kolam susu, katanya
Tapi kata kakekku hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu
Kail dan jala cukup menghidupimu, katanya
tapi kata kakekku ikan-ikan kita dicuri oleh banyak negara
Tiada badai tiada topan kau temui, katanya
Tapi kenapa ayahku tertiup angin ke malaysia?
Ikan dan udang menghamiri dirimu, katanya
Tapi kata kakek, “Awas ada udang di balik batu!”
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman, katanya
Tapi kata dokter intel, belum semua rakyatnya sejahtera. Banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri
Bukan lautan hanya kolam susu, katanya
Tapi kata kakekku hanya orang-orang kaya yang bisa minum susu
Kail dan jala cukup menghidupimu, katanya
tapi kata kakekku ikan-ikan kita dicuri oleh banyak negara
Tiada badai tiada topan kau temui, katanya
Tapi kenapa ayahku tertiup angin ke malaysia?
Ikan dan udang menghamiri dirimu, katanya
Tapi kata kakek, “Awas ada udang di balik batu!”
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman, katanya
Tapi kata dokter intel, belum semua rakyatnya sejahtera. Banyak pejabat yang menjual kayu dan batu untuk membangun surganya sendiri
Benar kata Deddy Mizwar, cintailah bangsa
ini tanpa harus mengingkari kebenaran. Pesan ini dirangkum dalam adegan
terakhir, pesan sang kakek sebelum wafat, “Apapun yang terjadi jangan pernah
kehilangan cinta pada negeri ini!”
Film
ditutup dengan adegan Salman berlari membawa bendera merah putih sambil berlari
dari Malaysia ke Indonesia. Kembali gagasan nasionalisme disampaikan oleh Deddy
Mizwar. Namun, kali ini disajikan dengan lebih halus, tidak sesatir Nagabonar
Jadi Dua danAlangkah Lucunya Negeri Ini.
Gagasan
nasionalisme ini adalah ajakan untuk membenahi negara ini berdasarkan realitas
yang ada di perbatasan. Generasi mudalah yang menjadi pemegang amanah perbaikan
negara ini.
“Kaum
Nabi Nuh dimusnahkan oleh Allah karena takmelakukan perbaikan, kaum Nabi Luth
juga demikian, bahkan Turki Utsmani juga dimusnahkan oleh Allah, jangan sampai
negara kita mengalami hal yang sama. Kalau ada ketidakberesan di negeri ini,
lakukan sesuatu karena merasa tidak suka dalam hati adalah perbuatan
selemah-lemahnya iman. Kalaupun negara ini akan dimusnahkan, paling tidak, saya
ada di barisan orang-orang yang berbuat sesuatu melalui film,” ujar Deddy
Mizwar.
“Tapi
janganlah sampai negeri ini dimusnahkan. Ayo kita berbuat sesuatu untuk negeri
kita dengan karya paling tidak.” Tambahnya. Moderator diskusi waktu itu sampai
berkata, “Saya merasa sedang ada di PPT (Para Pencari Tuhan-pen). Serasa
dinasehati sama Bang Jek.”
Gagasan
dalam film ini sudah menjadi salah satu alasan saya untuk memilihnya dalah
Pemilihan Gubernur Jawa Barat 2013 nanti. Ide perbaikan dan nasionalisme sudah
ada dalam film-film Deddy Mizwar. Saatnya ia bekerja konkret untuk Jawa Barat
sebagai salah satu bagian dari Indonesia. Gagasan besar untuk negara ini selalu
hadir dari seorang besar bukan?!
Sumber: https://langitshabrina.wordpress.com/2012/11/21/belajar-mencintai-indonesia-dari-deddy-mizwar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar