Jumat, 27 Januari 2012

Manisnya Iman (Halawatul Iman)

Sore ini kebetulan, rasanya ingin sekali membuat teh manis untuk menemani waktu sore ini. Diaduk-aduk, dan hmmmmm.... Alhamdulillah, nikmat sekali.. Sembari sedikit demi sedikit menyeruput teh manis dan hangat buatan sendiri, jari jemari ini ingin sekali rasanya menulisakan tentang Halawatul Iman. Mungkin, sedikit tapi semoga bermanfaat. Bismillah....

Manisnya Iman (Halawatul iman)?
Rasulullah Saw bersabda: "Tiga perkara yang barangsiapa terdapat (ketiga-tiga perkara itu) padanya niscaya dia memperolehi kemanisan iman (yaitu) Allah dan Rasul-Nya adalah lebih dia cintai daripada selainnya (Allah dan Rasul), dan dia mencintai seseorang semata-mata kerana Allah, dan dia benci untuk kembali kepada kekufuran (maksiat) sebagaimana dia benci dilemparkan ke dalam api." (HR Bukhari dan Muslim).
Dunia ini semata-mata hanya tempat singgah bagi kita, tempat untuk kita beribadah pada Allah, mencari perbekalan bagi kita untuk menghadapi akhirat. Jikalu dunia jauh lebih berharga daripada Allah dan Rasulnya, maka perlu kiranya kita mengoreksi diri kita. Sudahkah hati ini benar-benar beriman pada Allah dan Rasul-Nya? Sudah segala tindak tanduk kita sesuai dengan yang disyari'atkan Allah dan Rasulnya? Jangan-jangan kita sama halnya seperti Abdullah bin Ubay, yang dirinya mengaku bermiman, namun hatinya belum beriman. Orang-orang seperti ini diancam keras oleh Allah, sebagaimana dalam firmanNya "Allah menjanjikan (mengancam) orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka jahanam..." (QS At-Taubah: 68).

Ibadah-ibadah atau amalan-amalan akan terasa amat berat untuk kita lakukan. Aktivitas-aktivitas keseharian yang kita lakukan akan sangat memberatkan kita dalam melakukan ibadah pada Allah Swt. Tak merasakah kita selama ini? Itu berarti kita belum dapat merasakan halawatul iman (manisnya iman). Ketika kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya jauh lebih besar dari kecintaan kita kepada selain kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh kita akan dapat merasakan manisnya iman. Itulah sebabnya selama 13 tahun Rasulullah berdakwah di Makah hanya membahas masalah aqidah, belum sampai pada masalah syariat. Beliau memfokuskan untuk secara intensif memperkenalkan para sahabat kepada Allah. Kecintaan para sahabat pada Rasulullah telah ditunjukkan dalam riwayat-riwayat peperangan, diantaranya ketika perang uhud. Dalam kondisi yang cukup terdesak para sahabat membuat perisai untuk melindungi Rasulullah. Diantara para sahabat, kita kenal seorang Abu Dujanah yang menerima banyak panahan dan tikaman tetapi sedikit pun tidak tergerak daripada posisinya. Ini membuktikan betapa cintanya para sahabat kepada Rasulullah. Begitu pula seorang Umar bin Khatab yang berkata pada Rasulullah, "Aku mencintaimu setelahku" Namun kata Rasulullah itu belum cukup. Kemudian Umar berkata "Aku mencintaimu sebelum aku mencintai diriku." Sekali lagi adalah sebuah bukti kecintaan para sahabat kepada Rasulullah, tentu kepada Allah yang menyampaikan risalah ini pada Rasul-Nya. Tak irikah kita pada mereka? tak rindukah kita pada Rasulullah? Dalam sebuah riwayat lain disampaikan, Hubaib bin Adi yang ketika itu akan disalib oleh Abu Sufyan. Ketika ditanya oleh Abu Sufyan, agar dirinya diganti oleh Muhammad dan kemudian dirinya terbebas dari penyaliban. Maka dengan sangat tegas Hubaib bin Adi menolaknya. Bahkan dia tak rela ketika Rasulullah terkena sebuah duri dan dia siap untuk menggantikannya. Betapa para sahabat telah dapat menikmati manisnya iman, mereka telah rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk Allah dan Rasul-Nya.

Tibalah pada fase madinah, ketika para sahabat telah sangat siap dan taat untuk menerima syariat yang diberikan. Dengan hadirnya cintanya pada Allah dan Rasul-Nya, syariat ini bukanlah menjadi sebuah beban. Melainkan menjadi sebuah spirit keimanan para sahabat. Dalam sebuah riwayat disampaikan ketika itu para sahabat diancam, bahwa orang-orang Quraisy telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang para sahabat. Namun bukannya gentar, mereka malah semakin kuat imannya. Mereka menyampaikan bahwa, cukuplah Allah menjadi penolong bagi kami. "(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." (QS Ali Imran: 173).

Halawatul iman akan hadir mana kala kita telah sampai pada kecintaan kita pada Allah dan Rasul-Nya, dan kecintaannya kepada seseorang semata-mata karena Allah dan Rasul-Nya, sehingga mendahulukan cinta pada Allah dan Rasul-Nya adalah sebuah keharusan. Sebagaimana kisah Umar bin Khatab di atas dan para sahabat lainnya. Halawatul iman juga mensyaratkan agar kita membenci untuk kembali kepada kekufuran (maksiat). Dia lebih takut kepada Allah daripada harus takut untuk menggadaikan keminana mereka. Tatkala hati ini merasa ragu dan berputusasa, maka ingatlah kisah Rasul dan para sahabatnya. Atau mungkin kita juga bisa mengingat kisah keluarga 'Ammar bin Yasir. Yasir dan Sumayah syahid atas kebiadaban para kafir Quraisy, sedangkan 'Ammar itu disiksa sampai-sampai ia tidak menyadari apa yg diucapkannya. Maka seru Rasulullah SAW “Sabarlah wahai Abal Yaqdhan.. Sabarlah wahai keluarga Yasir? Tempat yg dijanjikan bagi kalian adalah surga!”

Maka ketika telah hadir halawatul iman pada diri kita, kita akan sangat menikmati ibadah-ibadah dan amalan-amalan yang kita lakukan. Mampu merasakan kelezatan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya (shalat, tilawah, sangat dinikmati, pergaulan dengan orang-orang shalih akan sangat dirindukan), menikmati kesulitan-kesulitan (dinamika) dalam berdakwah. Kita ingat kisah Nabi Nuh, kurang lebih 950 tahun beliau berdakwah, namun hanya mendaptkan belasan orang yang mau menerima dakwahnya. Dengan murka Allah kemudian, dimusnahkanlah umatnya. Rasulullah dengan sangat berani, datang ke ta'if, padahal kita tahu bagaimana kemudian perlakuan yang diberikan pada Rasulullah. namun dengan sabar, beliau tidak menghendaki untuk memusnahkannya seperti yang dilakukan oleh Allah kepada umat Nabi Nuh. Tak pantaslah hati ini merasa berputus asa, sedangkan Allah senantiasa dekat dengan hamba-hambanya yang beriman.
Wallahu'alam bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar