Refleksi Perkuliahan Pertama Filsafat Ilmu Prof. Dr. Marsigit, M.A. 28 Oktober 2021 Via Zoom Meeting
Filsafat
itu lebih dari sekedar ilmu-ilmu bidang, tetapi tidak melampaui spiritualitas,
namun dia hanya mendekati. Daya tembuh menuju spiritualitas itu tergantung dari
diri kita, kemampaun, kepiawaian, ilmunya, dan pengalaman diri seseorang dalam
berfilsafat.
Filsafat
adalah olah pikir yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk Allah yang
diberikan kemampuan oleh Allah sebagai pencipta untuk dapat berfikir. Namun sehebat-hebatnya
manusia berfikir, pikiran itu tetaplah menjadi sebuah pikiran. Agar olah pikir kita
dalam berfilsafat tidak tersesat dan tetap dalam koridor yang sesuai, maka ada
tata cara atau hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjadi paradigmanya.
Pertama,
bahwa filsafat itu adalah olah pikir dengan segala macam kosekuensinya. Kosekuensi
yang perlu diperhatikan bahwa pikiran kita itu bersifat terbatas. Allah
subhanahu wata’ala memberikan karunia kepada manusia berupa akal pikiran yang
merupakan suatu kelebihan yang diberikan kepada manusia dibandingkan dengan
makhluk Allah yang lain. Dengan akal pikiran tersebut, manusia dapat berfikir
dan mengaplikasikannya dalam sebuah kehidupan untuk membuat hal-hal yang dapat
mempermudah pekerjaan manusia. Namun, tentu saja segala yang dimiliki manusia
di dunia itu memiliki keterbatasan termasuk akal manusia. Ada Batasan-batasan
yang tidak bisa dan tidak boleh dilewati. Meskipun Islam sangat memperhatikan
dan memuliakan akal, namun tidak menyerahkan segala sesuatu kepada akal manusia.
Dalam hal ini Islam memberikan Batasan ruang lingkup terhadap akal sesuai kadar
kemampuannya untuk melakukan olah pikir. Sebab akal terbatas jangkauannya,
tidak mungkin untuk menjangkau hakikat segala sesuatu. Maka islam menundukkan
akal terhadap wahyu Allah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam.
Kedua,
belajar berfilsafat harus berlandaskan kepada spiritualitas. Di dalam kerangka
spiritualitas, dan menuju ke spiritualitas. Sehingga dalam berfilsafat kita selalu
awali dengan berdoa, dalam doa dan menuju doa. Dan berfilsafat itu selalu dalam
rangka untuk mendapatkan keberkahan manfaat atas olah pikir yang dilakukan
untuk menggapai ridho Allah Subhanahu wata’ala. Ini adalah prinsip dalam
berfilsafat. Maka olah pikir yang kita lakukan, jika kita padukan antara point
pertama dan kedua ini olah pikir kita adalah olah pikir yang tetap dalam
kerangka norma-norma agama, atau tidak dalam rangka untuk melampaui norma-norma
agama. Jangan sampai olah pikir kita justru menjadi tidak terkendali, karena dalam
berfilsafat itu tergantung dari filsuf dan orangnya. Jika kita dalam
berfilsafat sudah muali menemukan titik jenuh atau dalam arti sampai pada tahap
dimana sebuah pertanyaan tidak perlu untuk dijawab. Maka berhentilah. Beristighfar
dan mohon ampun kepada Allah. Tidak perlu untuk dipaksakan hingga kita justru
terjerumus dalam penyimpangan terhadap norma agama.
Selanjutnya
terkait dengan sumber bacaan dalam berfilsafat, yaitu apa saja, dengan syarat. Pertama,
jangan sampai sumber bacaan tersebut menurunkan kadar keimanan kita kepada
Allah. Dan yang kedua, jangan sampai sumber bacaan itu mengandung unsur pengkhiyanatan
terhadap negara. Seperti merubah dasar negara atau pemberontakan terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jika kita justru menemukan buku-buku atau sebuah
referensi yang mengarah kepada hal tersebut, tinggalkan tidak perlu dibaca. Lebih
baik fokus terhadap hakikat filsafat, yaitu olah pikir untuk menggapai
kebermanfaatan.
Berikutnya
mengenai objek filsafat. Objek filsafat ini bertingkat-tingkat, dimana objek
yang paling dasar atau yang bersifat ontologis adalah yang ada dan yang mungkin
ada. Kemudian ditingkatkan lagi kepada level yang kemudian lebih formal, yaitu
objek formal dan material. Objek formal itu adalah wadahnya dan objek material
adalah isinya.
Kemuduian,
alat yang digunakan untuk berfilsafat adalah bahasa analog. Bahasa analog yang
dimaksud adalah analogi, analogi keadaan, analogi dunia, analogi situasi. Hal ini
lebih tinggi dari perumpamaan atau persamaan. Contoh, kita menganalogikan
pikiran kita dengan dunia. Misalnya kita katakana bahwa pikiran kita adalah
sama dengan dunia, maka itu tidaklah tepat. Tetapi jika kita katakana bahwa
pikiran kita analog dengan dunia, itu lebih tepat. Mengapa? Karena kita tidak
bisa memikirkan dunia tanpa kita pikirkan. Misalnya saja kita berfikir tentang
kota-kota, kitab isa memikirkan kota Tokyo, New York, atau kutub selatan tanpa
kita harus berada disana atau menuju ke tempat tersebut. Karena di dalam
pikiran kita terdapat nama kota atau tempat tersebut. Kita juga bisa mengatakan
bahwa hati kita itu analog dengan spiritualitas. Jika dikatakan doa atau
spiritualitas, maka peganglah dada kita, hati kita. Disana terdapat keimanan,
hati yang tunduk dan bergetar karena takut kepada Allah untuk mengharapkan
keridhoan Allah, mengharapkan kasih dan sayang Allah. Itulah sebabnya terkadang
filsafat dianggap sulit, karena objeknya meliputi apa yang ada dan yang mungkin
ada.
Pembahasan
selanjutnya adalah tentang metode berfilsafat. Metode berfilsafat itu ada dua,
yaitu intensif dan ekstensif. Intensif itu di dalamkan, tapi karena kita sedang
berfilsafat, maka mengandung maksud ditinggikan. Kemudian ekstensif itu
diperluas seluas-seluasnya. Itulah sebabnya dengan cara didalamkan, maka dalam
berfulsafat itu mencapai pada radikal. Radik itu akar. Maksudnya berfilsafat
sampain pada sesuatu yang sudah tidak bisa digali lagi.
Kemduian
pilar filsafat, yaitu hakikat, metode, dan manfaat. Hakikat adalah ontologi,
metode adalah epistemology, dan manfaat adalah aksiologi. Namun jika dibalik, ontologi
tidak semata-mata hakikat, espistemologi tidak semata-mata metode, dan aksiologi
tidak semata-mata manfaat. Sebab, aksiologi juga ada dua, yaitu etik dan
estetika.
Objek
formal ontologi adalah hakekat realitas. Bagi pendekatan kuantitatif marematik
realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah; telaanya akan menjadi monisme,
paralelisme, atau pluralisme. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas akan tampil
menjadi aliran-aliran materialisme, idealsme, naturalisme, dan phylomorphisme.
Ontologi
(Yunani) yaitu berasal dari kata kata on, ontos, yang artinya ada,
kebenaran sedangkan logos adalah studi atau ilmu pengetahuan. Sehingga secara
kata dapat diartikan sebagai cabang ilmu filsafat yang menyelidiki apa yang
dipelajari oleh ilmu pengetahuan, Ontologi menurut A. Susanto (2019) membicarakan
azaz-azaz rasional dari yang ada. ontologi berusaha mengetahui esensi yang
terdalam dari yang ada. Selain itu dijelaskan juga bahwa ontologi yaitu suatu
pemikiran tentang asal usul alam semesta, dari mana dan kea rah mana proses
kejadiannya.
A.
Susanto (2019) juga menerangkan bahwa epistemologi adalah cabang ilmu filsafat
yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.
secara singkat, epistemologi dapat diartikan sebagai cara kita untuk mengetahui
sesuatu. Epistimologi yang juga disebut teori pengetahuan adalah cabang
filsafat yang berurusan dengan penyelidikan keshahihan pengetahuan. A. Susanto
(2019) juga menerangkan tentang aksiologi. Dimana aksiologi diartikan sebagai
suatu pemikiran tentang masalah-masalah nilai, termasuk nilai-nilai tinggi dari
Tuhan. misalnya nilai moral, nilai agama, dan keindahan atau estetika.
Filsafat
merupakan suatu fenomena yang inferensial, yaitu pikiran yang berjalan. Maksudnya
berjalan itu adalah yang diucapkan dan ditulis. Berjalan dalam apa? Berjalan dalam ruang dan
waktu, dari dulu, sekarang dan yang akan datang. Aliran dalam filsafat itu
seperti sungai, ada sumber airnya, ada muaranya dan cabang-cabangnya. Setiap muara
ada penjaganya, yaitu para filsuf, karena para filsuf memiliki pikiran, yaitu
pikiran para filsuf.
Apa
muara sungai? Yaitu kehidupan kita. Kehidupan kit aitu seperti lautan yang
setiap hari mendapatkan inferensi-inferensi yang mengalir begitu saja seperti
aliran sungai. Sungai itu terdapat sumbernta ada gunungnya. Gunung ini adalah
ilmu. Dimanapun khususnya di Indonesia khususnya di jawa, maka gunung
digambarkan sebagai sebuah ilmu. Tidak hanya itu, dalam perwayangan, gunung
melambangkan kehidupan. Maka gunung-gunung menjadi sumber mata air dari para
filsuf. Maka di awal dan di akhir, definisi filsafat itu berbeda. Di awal
definisi filsafat adalah olah pikir. Sedangkan di akhir ini, filsafat adalah
pikiran para filsuf. Tidak ada filsafat tanpa mereview pikiran para filsuf.
Maka
pada saat ini filsafat adalah diri kita masing-masing. Artinya, barang siapa
berfikir, dia sedang berfilsafat. Apakah setiap pikiran itu berfilsafat? Dikatakan
berfilsafat jika pikiran itu adalah pikiran reflektif. Pikiran reflektif itu
harus memenuhi unsur pertanyaan mengapa, apa, dan bagaimana. Maka dalam
berfilsafat dan bahkan semua ilmu, dimulai dengan pertanyaan. Namun ada ilmu
yang tidak membutuhkan pertanyaan, yaitu ilmu spiritualitas yang ada di dalam
hati yang dimulai dengan keyakinan, ia adalah keimanan. Keimana kepada Allah
subhanahu wata’ala.
Apakah
setiap pertanyaan bisa dijawab? Jawabannya tentu saja tidak. Tidak setiap
perkara bisa ditanya, tidak setiap pertanyaan bisa dijawab. Misalnya saja
urusan rumah tangga seseorang. Jadi dalam berfilsafat itu tidak boleh sembarang.
Ada kendala atau penyakit dalam berfilsafat, Pertama, jika dalam belajar
filsafat kita itu sepenggal-penggal. Akhirnya dalam melakukan olah pikir, kita
akan mengarah kepada penyimpangan yang justru tidak memperoleh manfaat dari
berfilsafat. Kedua, jika berfilsafat salah dalam menempatkan ruang dan waktu. Misalnya
kita berfilsafat dengan anak-anak. Tentu ini salah sasaran, tidak tepat. Namun jika
kita berbicara dengan anak-anak buah dari pada filsafat. Maka hal ini bisa
disampaikan, seperti misalnya kebenaran pikiran dan kebijakan dalam pikiran. Ini
adalah buah dari berfilsafat.
Sebenar-benar
filsafat adalah penjelasannya Ada dua macam ilmu dalam menjelaskan filsafat,
yang pertama adalah ilmu rasio (logika) dan yang kedua adalah pengalaman (kenyataan
yang dialami). Jadi sebenar-benarnya ilmu dalam filsafat adalah gabungan antara
pengalaman dan logika.
Sekian
dan terima kasih atas kesempatan belajar dengan Prof. Dr. Marsigit, M.A.
Semoga
pemahaman yang professor berikan dapat memberikan hikmah kepada kami untuk
selanjutnya dapat kami aplikasikan dalam belajar dan mengajar.
Sumber lainnya:
A. Susanto. 2019. Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis.
Jakarta. PT Bumi Aksara.