Kamis, 03 September 2015

Sumbang

Ada sesuatu yang bergetar di dada. Pagi ini aku ingin bicara mengenai sesuatu itu, yang bergetar di dalam dada. Seakan sesuatu itu sudah lama mati dan membusuk hingga belatungpun tak mau memakannya. Tak mau hidup dan tumbuh di dalam sesuatu yang ada di dalam dada. Sesuatu itu adalah hati. Segumpal daging yang jika ia hitam, maka hitamlah seluruh jasad yang menanuginya. Tidak hanya jasad, tak akan ada laku dan tutur kata yang dapat dipercaya. Bahkan tanpa berkatapun semua makhluk tahu, jika dia busuk dan bau. Ini tentang nurani yang telah mati dan entah kapan nurani itu mati. Mungkin saja sejak ia mengenal dunia dan melihat betapa fananya dunia. Dan akhirat begitu semu baginya. Mata tak mampu melihat dan akal terlanjur tumpul. Hati yang menjadi satu-stunya benteng pertahanan terakhir terlanjur mati. Maka tinggallah jasad tak bertuan. Seperti mayat hidup; hidup segan, mati tak mau.

Manusia namanya, si pemilik hati itu. Setidaknya itu yang orang-orang pahami. Meski sesungguhnya Tuhanlah yang menitipkan hati itu untuk dipelihara agar hidup dan agar hati itu mampu memberikan fatwa kepada manusia. Tapi nyatanya hati tak bisa menjadi ulama. Hati terlanjur mati dan nurani, ah sudahlah. Mereka seperti sudah tak lagi bisa diharapkan.

Tentang pagi yang membuat hatiku bergetar. Aku seperti ditampar keras oleh sebuah gambar yang amat sumbang. Entah manusia yang lain merasakan hal senada atau tidak. Khusnudzonku mereka merasakan hal senada denganku, hanya entah mereka tak tahu harus berbuat apa.

Kamu kenal negara Suriah? Ya, konflik berkepanjangan masih hidup sampai sekarang. Mungkin ada yang berpesta pora di balik panggung. Kamu juga kenal Irak? Sejak Sadam lengser, mereka masih saja tidak bisa tidur nyenyak. Dan untuk kamu yang suka nonton film, kamu pernah menonton film 99 cahaya di langit eropa? Ya Alex Abbad yang berperan sebagai Khan, pemuda muslim asal Pakistan. Ia bercerita bahwa negaranya dikenal sebagai ladang ranjau. Dalam film itu ayahnya meninggal karena ranjau.

Seperti candu, hal yang sama selalu berulang dan berulang. Tapi manusia tak memahaminya. Aku yakin bahwa di negara-negara yang aku sebutkan tadi, atau di belahan bumi manapun yang sampai hari ini masih belum bisa merasakan nikmatnya mandi air hangat atau menikmati segelas susu dengan tenang. Mereka adalah belahan bumi Allah yang dihamparkan untuk berladang manusia. Menanam benih untuk bekal ia kembali ke akhirat. Hanya saja ada ladang yang kadang tandus dan ada ladang yang amat subur. Tanah-tanah ini adalah tanah-tanah yang unik dan memiliki keindahannya sendiri. Ada tempat berlibur yang khas dan tentunya menjadi destinasi yang layak direkomendasikan. Tapi akan selalu ada tapi.

Kembali kepada pembicaraan mengenai hati. Tentang pagi yang begitu menggetarkan hati. Aku melihat jasad bocah dengan baju merah yang tergeletak di bibir pantai di Turki. Ombak pasti turut menangis saat itu. Bocah itu adalah salah satu pengungsi Suriah yang meninggal dunia karena tenggelam dari sampan bersama anggota keluarganya. Lihat! Betapa sumbang kalimat yang aku tulis ini. Atau mungkin ada yang salah denganku sehingga terasa begitu sumbang? Apa yang baru saja kamu rasakan saat membaca kalimat tersebut? (Bocah itu adalah salah satu pengungsi Suriah yang meninggal dunia karena tenggelam dari sampan bersama anggota keluarganya). Wahai nurani, berteriakkah kamu hari ini?

Kamu lihat?

Coba kamu raba dadamu, rasakan bagaimana hatimu saat bibirmu membaca kalimat tadi dan akal mencerna kalimat yang telah kamu baca dengan bibirmu itu. Apa yang kamu rasakan?

Setelah itu, hendak apa kamu?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar